Senin, 14 Mei 2012

agama kejawen

apakah kalian tahu apa itu agama kejawen???....

mari kita baca apa itu agama kejawen, darimana asal agama tersebut.........

 Sekilas tentang Kejawen

Agama Tradisional: Kejawèn

1. Pengantar

Kepercayaan dan praktek kebatinan kejawèn sudah lama hidup di Jawa. Tetapi, timbulnya aliran-aliran kebatinan sebagai suatu sistem terorganisasi adalah fenomena yang baru. Di lain pihak, zaman yang menjadi obyek tulisan ini zaman modern, karena itu hal yang disoroti dalam tulisan ini bukanlah kepercayaan kejawèn pada umumnya di Jawa, tetapi aliran-aliran kebatinan atau kepercayaan yang telah terorganisasi[1]. Mengingat adanya hubungan dengan masalah bagaimana menilai sifat Islam dalam masyarakat dan kebudayaan Jawa, Clifford Geertz menitikberatkan sifat non-Islam yaitu sifat Hindu, Budha, dan animisme masyarakat dan kebudayaan Jawa[2]. Tetapi, Geertz dikritik, oleh misalnya Mark Woodward[3], yang mengatakan bahwa masyarakat dan kebudayaan Jawa, pada dasarnya, adalah masyarakat dan kebudayaan Islam. Para kritikus mengritik bahwa Geertz mempunyai konsep Islam yang picik dari reformis Islam. Aliran-aliran kebatinan cenderung dilihat sebagai Islam yang sesat, dan sifat khas aliran-aliran kebatinan diabaikan.

Apabila agama baru dapat berdiri sendiri dari agama yang telah terbentuk sejak lama, baik secara organisasi maupun ajarannya, agama baru ini dapat dinilai sebagai sebuah agama yang berdiri sendiri. Pada ajaran agama tersebut perlu terbentuk/adanya suatu konsep penyelamatan/keselamatan. Dalam studi agama-agama baru, dapat dilihat suatu konsep penyelamatan/keselamatan yang khas di dalam agama baru ini yang disebut dengan istilah, “konsep penyelamatan/keselamatan hidup-isme”. Sifat khas “konsep penyelamatan/keselamatan hidup-isme” ini mementingkan penyelamatan/keselamatan di dunia ini. Sebaliknya bagi konsep penyelamatan agama yang telah terbentuk sejak lama, misalnya Islam dan Kristen, penyelamatan/keselamatan terdapat di akhirat.

Berbeda dengan agama-agama besar lainnya, kebatinan adalah “produk” asli Indonesia. Agama Yahudi, Kristiani dan Islam datang dari Timur Tengah. Agama Hindu dan Budha dari India. Agama Kong Hu Cu dari Cina. “Anehnya” di Indonesia aliran-aliran kebatinan ini justru tidak dilihat sebagai agama. Tetapi ditinjau dari sudut ilmu pengetahuan dan bukan dari sudut administrasi, aliran-aliran kebatinan kiranya perlu diteliti sebagai agama. Tulisan ini tidak ingin masuk terlalu jauh pada ajaran-ajaran masing-masing aliran kejawèn karena pembicaraan akan menjadi sangat luas. Ada beberapa hal yang hendak ditampilkan untuk memberi sedikit gambaran paham yang terdapat dalam aliran-aliran kejawèn.



2. Keagamaan Orang Jawa

Jawa adalah kelompok etnik terbesar di Asia Tenggara yang berjumlah lebih dari 100 juta jiwa dari sekitar lebih dari 220 juta masyarakat Indonesia. Lebih dari 85% di antara mereka memeluk agama Islam. Dalam prakteknya, terdapat suatu garis pemisah kultural yang menyolok antara mereka yang secara serius melakukan kewajiban-kewajiban agama Islam dan mereka yang tidak mengatur hidupnya menurut kaidah-kaidah formal agama Islam. Golongan ini mengikuti tradisi pikiran kejawèn yang pertama-tama diilhami oleh buah pikiran Jawa Kuno dan budaya Hindu-Budhis serta unsur-unsur tambahan dari agama Islam. Pikiran kejawèn ini mempunyai suatu ciri religius mendalam, yaitu kesadaran bahwa semua yang ada turut ambil bagian dalam kesatuan eksistensi serta ketergantungan pada suatu prinsip kosmis yang meliputi segala-galanya dan yang mengatur hidup manusia[4]. Mereka dikenal sebagai tiga kelompok besar yang berbeda secara religi dan kultural yakni kelompok “putih” atau santri, “abangan”, dan “priyayi”[5].

Karena penyebaran Islam belum mendalam sejak berdirinya kesultanan Islam Demak (+ 1500), terganggunya keamanan dikarenakan perebutan kekuasaan politik di kalangan penerus keturunan Raden Patah dan terjadinya perpecahan di antara para wali (ulama), terjadilah tiga kelompok tersebut di antara para penganut agama di kalangan orang-orang Jawa. Selain itu, pertentangan politik di antara runtuhnya kerajaan Majapahit dan mulai masuknya pengaruh Portugis (tahun 1511 M) juga turut mempengaruhi perkembangan tiga kelompok tersebut[6].



1.1 Tiga Golongan Penganut Agama Kejawèn[7]

1.1.1 Golongan Santri

Golongan santri, yang disebut juga “Wong Putihan”, adalah orang-orang yang taat menjalankan agama Islam, tetapi mereka membiarkan sanak saudara dan tetangganya yang melaksanakan acara dan upacara adat kepercayaan yang tidak sesuai atau bertentangan dengan ajaran Islam. Bahkan di antara mereka masih ada juga yang disengaja atau tidak disengaja menganut kepercayaan kejawèn. Misalnya dalam upacara selamatan dengan berzikir menggunakan pedupaan dan membakar kemenyan, atau memberi sesajian (sesajèn) kepada roh-roh ghaib pada waktu-waktu tertentu, memelihara dan mendengarkan suara burung perkutut sebagai pembawa tanda dan berita baik atau buruk, melihat dan menafisrkan tanda-tanda pada tubuh manusia, menafsirkan mimpi atau datangnya ilham[8].



1.1.2 Golongan Priyayi

Tadinya golongan priyayi merupakan kaum bangsawan, aristokrasi yang dekat hubungannya dengan raja-raja Jawa. Mereka merupakan semacam perantara, penghubung antara raja dan rakyatnya[9]. Mereka terdiri dari kaum bangsawan, para keluarga istana, dan para pejabat pemerintahan yang pada umumnya mengaku beragama Islam karena politik, kedudukan atau jabatan, tetapi kebanyakan dari mereka tidak menjalankan agama Islam dengan taat. Mereka masih mempertahankan dan melaksanakan adat keagamaan Hindu Jawa dan berpegang pada ajaran mistik kejawèn yang berasal dari mistik Hindu-Budha. Ajaran mistik yang mereka anut tidak membedakan antara Ketuhanan Yang Mutlak dan manusia, bahkan antara Yang Mutlak dan Manusia dapat menjadi tubuh yang satu.



1.1.3. Golongan Abangan

Golongan abangan atau sering disebut dengan “Wong Cilik” adalah mereka yang menganut kepercayaan purba yang bercampur dengan ajaran-ajaran Hindu-Budha Jawa kuno dengan berselubung pada Islam. Dalam melaksanakan acara dan upacara keagamaannya, mereka melakukan selamatan-selamatan dengan sesajèn terhadap roh-roh gaib. Mayoritas tidak melaksanakan ajaran agama, terutama ritual-ritual dan ibadah. Kepercayaan pada dukun, orang-orang pinter, jimat-jimat dan kekuatan magic lainnya sangat tinggi[10]. Perkembangan selanjutnya adalah banyak di antara mereka yang menjadi pengikut aliran kebatinan atau kepercayaan dan di antara mereka ada pula yang menjadikan dirinya pemuka kepercayaan tersebut, seperti aliran kepercayaan Sapta Darma, Sumarah, Pengestu, Subud, dll.

Terdapat perbedaan antara universalisme dan harapan kehidupan akhirat kaum santri dengan pragmatisme dan relativisme golongan abangan di Jawa[11]. Orang-orang abangan menilai Islam sebagai agama Arab. Karena itu, mereka tidak pernah menjalankannya sepenuh hati. Bagi mereka, yang penting adalah berbuat baik dan berlaku jujur. Ibadah atau ritual tidaklah penting sehingga mesjid atau tempat ibadah lainnya tidak penting. Tempat ibadah mereka ada di dalam hati. Sebaliknya, kaum santri menuduh kaum abangan sebagai bidaah, menganut penafsiran sesat dan menjadi musyrik. Perbedaan-perbedaan dalam menilai praktik agama itu sudah menjadi bagian kehidupan di Jawa sejak munculnya Islam.



1.2 Kebatinan Kejawèn

Kebatinan (dari batin: tersembunyi, rahasia) berarti memelihara dan mengembangkan manusia-dalam dan secara umum menunjukkan mistik yang magis atau religius. Manusia-dalam dipandang sebagai semacam mikrokosmos (jagad cilik) terhadap makrokosmos (jagad gedhé) atau Hidup. Orang yang melakukan kebatinan berusaha untuk menyelaraskan diri dan akhirnya mempersatukan diri dengan prinsip itu yang meliputi segala-galanya (manunggaling kawula Gusti) dan yang merupakan awal mula serta tujuan segala-galanya (sangkan paran)[12]. Ia hendaknya melakukan itu tanpa pamrih dan hanya terdorong oleh keinginan untuk hidup selaras dengan Hidup dan tujuan segalanya. Praktek kebatinan dibenarkan karena maksud untuk mengembangkan diri pribadi seseorang, aku-nya yang sejati (ingsun sejati), terlindung dari ungkapan sosial yang nampak. Dalam kebatinan orang berusaha melaksanakan penyatuan sejati dengan Sang Hidup sambil menemukan keseimbangan pribadi lewat praktek-praktek mati raga dan samadi. Kebatinan mempunyai empat unsur yaitu ilmu ghaib, union mistik, sangkan paraning dumadi dan budi luhur[13].

Terjemahan kamus umum untuk kejawèn atau kejawaan dalam bahasa Indonesia adalah “Kejawaan” dan “Javanisme”. Javanisme atau kejawèn, yaitu agama beserta pandangan hidup orang Jawa, menekankan ketentraman batin, keselarasan dan keseimbangan, sikap narima terhadap segala peristiwa yang terjadi sambil menempatkan individu di bawah masyarakat dan masyarakat di bawah alam semesta[14]. Kejawèn meliputi konsep kosmologi, mitologi, seperangkat konsepsi yang mistis pada hakikatnya dan hal-hal lain yang serupa[15].

Kejawèn bukanlah suatu kategori religius, namun lebih menunjuk pada sebuah etika dan sebuah gaya hidup yang diilhami oleh pemikiran Jawa sehingga ketika sebagian orang mengungkapkan kejawaan mereka dalam praktek beragama, misalnya seperti dalam mistisisme, pada hakikatnya adalah suatu karakteristik yang secara kultural condong pada kehidupan yang mengatasi keanekaragaman religius. Ada banyak orang Jawa, misalnya di Yogyakarta, yang menjalankan kewajiban agama Islam secara sungguh-sungguh, tetapi mereka tetap orang Jawa yang membicarakan kehidupan dalam perspektif mitologi wayang atau menafsirkan shalat lima waktu sebagai pertemuan pribadi dengan Tuhan. Banyak di antara mereka yang masih menghormati slametan dan ziarah makam orang tua dan leluhur. Kesadaran akan budaya mereka sendiri adalah fenomena yang tersebar luas di kalangan orang Jawa. Kesadaran kultural ini sering berlaku sebagai sumber kebanggaan dan jati diri. Orang-orang yang melestarikan warisan budaya Jawa mereka dengan sungguh-sungguh bisa dianggap sebagai orang kejawèn.

Kejawèn merupakan sebuah produk dari pertemuan antara Islam dengan peradaban Jawa kuno; produk dari penjinakan, penundukan kerajaan-kerajaan Jawa oleh kongsi dagang VOC; hasil dari pertemuan kolonial antara orang Jawa dan Belanda. Gesekan-gesekan itu memaksa orang Jawa untuk merenungkan keberadaan mereka dan memacu konstruksi sebauh jati diri Jawa. Refleksi dan konstruksi itu adalah buah dari pertentangan dengan liyan, sehingga pertentangan-pertentangan pun berkembang, seperti santri X abangan, Jawa X Eropa; Timur X Barat[16].



3. Pemikiran dan Praktek Aliran Kebatinan-Kejawèn

Apa yang dikatakan agama budaya kejawèn adalah suatu paham keagamaan campuran yang dianut orang-orang Jawa, yang merupakan ramuan di antara adat keagamaan asli Jawa yang percaya pada alam ghaib dengan pengaruh Hindu-Budha dari zaman Majapahit dan pengaruh agama Islam dari zaman Demak. Dalam perkembangannya, paham keagamaan kejawèn tersebut kadangkala lebih condong kepada Hindu-Budha, kadangkala lebih condong pada Islam, atau lebih mengutamakan kejawaannya, dan atau kemudian ada pula yang condong pada Kristen-Katolik. Kecederungan itu ada yang sifatnya sebagai pedoman hidup dan ada yang sifatnya mengejek dan mencela antara satu dengan yang lain.

Dalam pikiran kejawèn, hidup manusia dilihat sebagai suatu manifestasi dari “Yang Tunggal”, yaitu “Sang Hidup” yang meliputi segala-galanya dan yang merupakan asal mula dan tujuan terakhir. Karena itu, tata tertib kosmis dan tata tertib sosial tidak berbeda-beda secara prinsipiil dan merupakan suatu keseluruhan, dengan hasil yang bersifat cukup antroposentris bahwa kesaktian qatau dimensi sakral terdapat baik di dalam masyarakat manusia maupun di dalam eksistensi kosmis yang lebih luas. Prinsip-prinsip kejawèn diungkapkan dalam prinsip pepesthèn, yaitu kenyataan bahwa semuanya itu harus mengikuti arah yang sudah ditentukan selaras dengan “hukum kosmos”. Karena itu, pada umumnya mereka menggemari ramalan, perhitungan magis, pétungan, primbon, dsb.

Upacara pokok kejawèn adalah slametan, yaitu perjamuan kerukunan sosio-religius yang diikuti oleh para tetangga bersama dengan beberapa sanak saudara dan sahabat. Upacara ini diadakan bertepatan dengan saat-saat penting di dalam kehidupan (perkawinan, kehamilan, kelahiran anak, kematian, dll.), peristiwa-peristiwa komunal yang setiap tahun diadakan (bersih desa, pesta dusun/kampung yang setiap tahun diadakan bersama dengan upacara pembersihan atau persucian tertentu) dan segala macam kesempatan bila kesejahteraan umum dan keseimbangan digoncangkan. Pertunjukan wayang seringkali menyertai upacara slametan yang paling penting. Sang dalang bertindak sebagai wakil “Tuhan” yang melimpahkan kekuatan dan keselamatan kepada hidup di bumi ini. Upacara-upacara pokok ini dimaksudkan untuk memperlihatkan keinginan agar selamat dengan melestarikan keseimbangan yang tidak tergoncangkan maupun untuk memulihkannya kembali manakala keseimbangan itu terganggu. Praktek religius kejawèn berpusat pada individu yang berhaluan mistik[17].

Praktek mistik kejawèn dalam berbagai bentuk dan ungkapannya merupakan suatu cara yang umum diterima untuk membebaskan diri dari tekanan hirarkis dan kemasyarakatan. Seringkali pertalian antar pribadi kelihatan lemah, bahkan pertalian perkawinan pun seringkali tidak dapat diandalkan. Pada dasarnya manusia itu sendirian dan harus menyelamatkan diri. Mistik berarti melaksanakan diri pribadinya yang sejati. Secara sosial orang dipaksa untuk memainkan suatu peranan tertentu dan menampilkan diri sebagai seorang yang sopan. Tetapi, dalam segi lain kehidupanlah yang memberi kompensasi dan sekaligus kekuatan untuk menopang harmani sosial. Namun, pada akhirnya hubungan seseorang dengan “kenyataan yang sejati” dianggap sebagai dasar sungguh dalam kehidupan[18].

Di tengah-tengah orang Jawa, alam pikiran masa kanak-kanak yang penuh magi dan fantasi terdapat juga dalam alam pikiran orang dewasa. Orang ingin percaya akan ramalan-ramalan dan mukjizat-mikjizat, akan peristiwa-peristiwa yang akan merombak dan memperbaiki dunia, dan menantikan suatu masyarakat yang adil makmur yang akan dibawa oleh seorang tokoh eskatologis (kalau istilah ini boleh digunakan) Sang Ratu Adil. Kedatangan keadaan itu bisa dipercepat oleh hubungan yang baik dan selaras dengan semesta alam atau dengan Tuhan. Semuanya itu sangat dipengaruhi oleh doa-doa dan upacara-upacara simbolis.

Pandangan religius kejawèn dipusatkan pada kesatuan hidup. Dalam ungkapan upacara-upacara simbolis, pandangan ini berpusat pada kesatuan harmonis dalam lingkungannya sendiri, entah itu keluarganya, tetangganya atau desanya. Dalam ungkapan yang mistik, agama Jawa memusatkan perhatiannya kepada hubungan langsung dan pribadi seseorang dengan “Yang Tunggal”. Sistem-sistem mistik yang rumit dan halus dikembangkan oleh kaum cendekiawan dan golongan priyayi di kota-kota. Dalam bentuknya yang lebih sederhana dan seringkali lebih magis, mistik tersebar luas di antara kaum abangan di pedesaan dan kota-kota kecil. Maju mundurnya perhatian kepada mistik berubah selaras dengan keadaan sosial masyarakat setempat. Seringkali perkembangan ini merupakan usaha untuk mengungkapkan diri dan mencari makna di tengah-tengah suatu zaman yang kacau. Tidak jarang pula mistik ini merupakan suatu bentuk organisasi modern untuk menghidupkan kembali warisan kebudayaan Jawa. Menjadi anggota salah satu agama “resmi’ tidak mencegah orang mempraktekkan”‘mistik” di dalam hatinya. Mentalitas kejawèn memang condong kepada sinkretisme dan sanggup menampung berbagai ungkapan religius yang bersama-sama mewujudkan kesatuan Hidup[19].



4. Aliran-aliran Kebatinan-Kejawèn pada Masa Sekarang

Ada beberapa aliran kebatinan atau kejawèn yang masih hidup dan berkembang sampai sekarang. Berikut ini akan disampaikan beberapa aliran kebatinan kejawèn yang memiliki basis massa yang cukup banyak.



4.1 Agama Sapta Darma

Sapta Darma adalah sebuah organisasi aliran kepercayaan yang pokok ajarannya adalah melaksanakan tujuh kewajiban suci yang bertujuan untuk membentuk kerohanian dan budi luhur dan berusaha membina kebahagiaan hidup manusia di dunia dan akhirat. Aliran kejawèn ini didirikan oleh Hardjo Sapoetro di Kediri. Aliran ini mempunyai banyak pengikut yang berasal dari kalangan rakyat biasa yaitu buruh dan petani, tidak seperti Pangestu, Sumarah dan lain-lain yang memiliki pengikut terutama dari klas menengah. Sapta Darma hadir untuk membimbing manusia menuju kesempurnaan hidup, baik mental – spiritual maupun fisik – material melalui ilham-ilham Sapta Darma yang diterima oleh Panuntun Agung Sri Gautama. Konsep Tuhan dalam Sapta Darma terlalu sederhana dan abstrak. “Konsepsi penyelamatan hidup-isme” mementingkan penyelamatan di dunia ini. Dalam hal ini, Sapta Darma sama dengan “Konsep penyelamatan hidup-isme”. Dalam konsep penyelamatan Sapta Darma, pengikutnya mendapat penyelamatan di dunia ini. Sapta Darma sebetulnya mengabaikan konsep akhirat dan penyelamatan yang diberikan di akhirat. Dipentingkan daya mengobati sakit dan budi luhur yang didapat dengan etika dan moral sehari-hari.

Ada beberapa pokok ajarannya, yaitu:

a) Ketuhanan dan tujuh kewajiban suci

Ajaran pokok Kerohanian Sapta Darma adalah melaksanakan tujuh kewajiban suci, yaitu[20]:

-    setia dan taat terhadap Pancasila Allah, yaitu: Yang Mahaagung, Maharahim, Mahaadil, Mahawasesa (Kuasa) dan Yang Langgeng (abadi).

-    setia menjalankan undang-undang negara dengan hati yang jujur dan suci.

-    ikut serta cancut tali wanda (siap sedia sewaktu-waktu) mempertahankan tegaknya negara, nusa dan bangsa.

-    menolong siapa saja yang memerlukan bantuan tanpa mengharapkan balasan apa pun

-    berani hidup berdasarkan kepercayaan dan kekuatan diri sendiri.

-    sikapnya dalam hidup bermasyarakat harus “bebrayan“, bersusila dan berbudi pekerti yang halus serta senantiasa sebagai penrangan yang membawa ketentraman orang lain.

-    percaya bahwa keadaan di dunia ini tidak kekal, melainkan selalu berubah-ubah (owah gingsir), ‘cakra manggilingan‘ (berputar seperti roda, sekali di atas sekali di bawah).

b) Pantangan[21]

Ada beberapa pantangan yang tidak boleh dilanggar oleh para anggota, yaitu:

-    tidak boleh menyembah dan memuliakan sesuatu kecuali kepada Allah Yang Maha Esa.

-    tidak boleh memuja batu, kayu dan segala macam yang dibuat oleh manusia sendiri.

-    tidak boleh memuja dan meminta pertolongan kepada makhluk halus dan memakan hasilnya.

-    tidak boleh mempercayai adanya hari pantangan, bulan dan tahun yang tidak boleh dipakai untuk melakukan pekerjaan.

-    tidak boleh membuat sesaji kepada makhluk halus penjaga rumah, desa dan berbagai bentuk takhayul lainnya.

c) Sujud

Semua warga Kerohanian Sapta Darma wajib melakukan sujud minimal sekali dalam sehari semalam, lebih banyak lebih baik. Sujud dapat dilakukan bersama maupun pribadi, kapan saja dan di mana saja. Mereka yang telah melakukan Sujud Dasar akan memperoleh “sabda Tuhan” untuk menolong sesama makhluk tanpa mengharapkan upah[22]. Ada banyak manfaat yang dipercaya yakni menumbuhkan kekuatan besar dalam tubuh, menyembuhkan dan memberantas kuman-kuman penyakit, menenangkan nafsu angkara murka dan memperoleh kewaskitaan sehingga dapat membaca sasmita[23].

d) Hening (Ening) dan Racut

Hening adalah perilaku menenangkan badan seluruhnya dengan menghilangkan semua angan-angan pikiran, untuk suatu maksud yang boleh dilakukan sebelum melakukan sujud dasar. Hening ini dipergunakan untuk melihat atau mengetahui keadaan keluarga yang jauh atau untuk melihat segala sesuatu yang tidak dapat dilihat dengan mata jasmani, murwakani (meneliti ucapan dan tindakan sebelum dilakukan), mengetahui keadaan arwah leluhur yang sudah meninggal dunia, melihat tempat-tempat angker yang sering mengganggu manusia, dan mengirim-menerima telegram rasa[24]. Racut adalah memisahkan rasa dari pengrasa (pikiran) dengan tujuan berlatih menghadap Yang Maha Suci terhadap Yang Maha Kuasa. Racut dapat dipergunakan untuk mengetahui tempat kehidupan besok bila sudah mati, yang sering disebut “alam kasuwargan”[25].

e) Olah Rasa dan Semedi

Olah rasa adalah suatu cara untuk meneliti jalannya rasa dan getaran yang ada dalam badan untuk mencapai budi luhur yang harus dimiliki oleh Satria Utama, yaitu mereka yang ingin senantiasa waspada penuh ‘waskita‘ dan bijaksana.



4.2 Paguyuban Sumarah

Paguyuban Sumarah berarti perkumpulan orang-orang yang menyerahkan diri sepenuhnya kepada kehendak Tuhan Yang Maha Esa. Paguyuban ini merupakan suatu organisasi kebatinan yang termasuk dalam kelompok Penghayat Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dalam peribadatannya, mereka sujud sumarah ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang didasari percaya dan penyerahan diri atas kehendak-Nya. Paguyuban ini diprakarsai oleh R. Ng. Soekirno Hartono pada tanggal 8 September 1935 di Yogyakarta dan secara resmi masuk dalam daftar inventarisasi Direktorat Jenderal Pembinaan Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI No. I. 086/F.6/F.2/1980[26]. Tujuan sosial paguyuban ini adalah untuk mengisi atau mewujudkan sila pertama Pancasila dan “mamayu hayuning” Indonesia khususnya dan dunia pada umumnya. Tujuan yang bersifat pribadi adalah ketentraman lahir dan batin, kesempurnaan hidup di dunia dan akhirat dan kemuliaan keturunan[27].

Inti ajarannya adalah ‘Allah’ itu ada dan senantiasa memerintah dan menguasai. ‘Allah’ adalah dzat Yang Maha Esa yang tempatnya di dalam diri manusia yang diwakili oleh ‘Urip’ (hidup). Dunia ini hanya sebagai batu ujian karena Tuhan menentukan lulus tidaknya manusia hidup di dunia. Mereka juga percaya pada hukum karma. Para anggota hendaknya selalu menampakkan sikap yang ramah tamah, tunduk pada semua peraturan pemerintah dan sedapat mungkin berjuang untuk kesejahteraan nusa dan bangsa. Hubungan manusia dengan Tuhan dilakukan dengan ‘sujud sumarah’ yaitu sujud pasrah diri, bersekutu dengan Tuhan di mana orang itu berusaha dengan berwujud hingga dapat mencapai martabat sumarah yang dilakukan dengan pasrah dan menyerah kepada Tuhan. Pertemuan dengan Tuhan merupakan pencapaian martabat yang mempersatukan angan-angan dan budi dengan Tuhan[28].



4.3 Paguyuban Ngèsti Tunggal/Pangèstu

Paguyuban Ngesti Tunggal bisa dimengerti sebagai persatuan yang dijiwai hidup guyub rukun dalam usaha bersama berikhtiar dan memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa untuk bersatu di dalam dan dengan kehidupan bermasyarakat serta kembali bersatu, bertunggal dengan Tuhan Yang Maha Esa. Pangestu adalah suatu organisasi kelompok penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang didirikan pada tanggal 20 Mei 1949 oleg R. Soenarto Mertowardojo di Surakarta. Pangestu merupakan organisasi atau kejiwaan semata-mata berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, bukan suatu bentuk organisasi agama, tetapi menghormati agama, tidak mencampuri urusan politik dan pemerintahan, akan tetapi patuh terhadap peraturan pemerintah yang sah.

Pangestu memiliki tujuan-tujuan sebagai berikut[29]:

-    menghimpun para siswa Sang guru Sejati dalam satu organisasi sebagai kancah mewakili pakarya Sang Guru Sejati dalam rangka penaburan dan pemeliharaan pepadangnya.

-    mengantar umat manusia kepada kepercayaan yang benar dan ke jalan yang benar yang sampai kepadan kesejahteraan abadi.

-    membina para anggotanya agar hidup rukun bersatu dengan semua umat, tanpa membeda-bedakan jenis, bangsa, golongan atau pun kepercayaan dan menjalankan sebaik-baiknya tujuan dan tugas hidupnya di dunia.

-    membina para anggotanya agar dapat mencapai tujuan dan tugas hidup yang hakiki, yaitu kembali bertunggal dengan Tuhan Yang Maha Esa melalui pendidikan dan pengolahan cipta dan hatinya sendiri menurut ajaran Sang Guru Sejati.

Ada beberapa pokok ajarannya, yaitu:

a) Sangsaka Jati dan Tripurusa

Sangsaka Jati terdiri dari 7 buku, yaitu Hasta Sila, Paliwara, Gumelaring Sabda, Dalan Rahayu, Sangkan Paran, dan Panembah[30]. Tuhan sebagai Tripurusa memiliki tiga unsur yaitu sebagai Suksma Kawekas (bersifat Karsa bagaikan bentuk matahari), Suksma Sejati (bersifat bijaksana bagaikan sinar matahari), dan Roh Suci (bersifat kuasa bagaikan panas matahari)[31].

b) Manusia dan nafsunya[32]

Manusia memiliki 4 macam nafsu, yaitu Nafsu Lawwamah (sifat jahat, loba, malas, dengki, dan tidak mengenal kebajikan), Nafsu Amarah (sifat berkeinginan kuat dan mudah marah), Nafsu Sufiyah dan Nafsu Mutmainah (sifat tenang, suci, suka berbakti dan kasih sayang). Manusia berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada Tuhan.

c) Kewajiban manusia

Agar manusia dapat kembali kepada Tuhan, manusia harus menaati ketentuan Tuhan. Ia wajib menyembah Suksma Kawekas dan Suksma Sejati. Kewajiban Panembah yang ada di kalbu ada tiga macam, yaitu ‘Panembah Raga kepada Roh Suci, Panembah Roh Suci kepada Suksma Sejati, dan Panembah Roh Sejati kepada Suksma Kawekas’. Panembah itu dapat menjadi empat macam, yaitu ‘panembah raga‘, ‘panembah cipta’, panembah kalbu’ dan ‘panembah rasa’[33].



4.4 Paguyuban Sangkan Paraning Dumadi Sri Jayabaya

Paguyuban ini memberi ajaran atau kawruh (ilmu) yang mempelajari asal usul manusia dan jalan hidupnya menuju ke asalnya yaitu Tuhan yang Maha Esa. Ajaran Sangkan Paraning Dumadi berasal dari “Ilmu Kejawèn” (yaitu pengetahuan tentang tradisi Jawa Tengah yang lazim dilakukan di luar agama Islam dengan maksud ingin melepaskan diri dari hukum agama Islam).



4.5 Paguyuban Satriyo Mangun Mardiko Dunungé Urip

Paguyuban ini merupakan paguyuban penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang pokok ajarannya adalah membentuk ksatria atau seseorang yang bebas membangun dan mengerti tentang arti dan tujuan hidupnya. Paguyuban ini bukanlah agama dan tidak akan menjadi agama, melainkan organisasi yang mengajarkan kerohanian dan penghayatan serta pengamalan hidup percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa agar orang tersebut memperoleh pancaran sinar Tuhan sehingga menjadi manusia yang berbudi luhur.



Di samping kelima paguyuban kebatinan/kejawèn di atas, masih banyak lagi aliran-aliran kejawèn dengan kekhasan dan ajarannya masing-masing, seperti agama Pran-Suh, agama Jawa Asli Republik Indonesia, Kawula Warga Naluri, Ngèlmu Beja-Mulur Mungkret, Ilmu Sejati Prawiro Sudarso, Paguyuban Pambuka Das Sanga, Induk Wargo Kawruh Utama, Aliran Kebatinan Perjalanan, Kepercayaan Budi Daya, dll. Aliran-aliran kejawèn masih hidup di berbagai daerah, antara lain Jakarta (27 aliran), Jawa Barat (5 aliran), Jawa Tengah (55 aliran), Yogyakarta (25 aliran), dan Jawa timur (56 aliran)[34].



5. Tinjauan terhadap Aliran Kejawèn

Kebangkitan aliran kejawèn dewasa ini tidak terlepas dari pandangannya terhadap agama-agama yang ada di Indonesia. Meskipun bangsa Indonesia adalah bangsa yang berketuhanan Yang Maha Esa, tidak berarti bangsa Indonesia seluruhnya beragama, karena kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa bukan monopoli pemeluk agama saja, akan tetapi hak setiap orang sekalipun tidak mengikuti agama tertentu. Pengikut aliran kejawèn adalah orang yang ber-Tuhan, akan tetapi belum tentu beragama (resmi yang diakui di Indonesia). Mereka menghayati dan menyembah Tuhan dengan caranya sendiri di luar ajaran agama dan ternyata mendapatkan apa yang mereka cari. Atas dasar hal itu, selanjutnya mereka berusaha membentuk organisasi baru dan tersendiri yang serupa dengan agama. Mereka merasa lebih cocok dengan cara penghayatan yang mereka temukan daripada cara yang diajarkan agama yang mungkin pernah mereka peluk.

Aliran-aliran kejawèn tampil untuk menyumbangkan darma baktinya demi terwujudnya masyarakat yang tenteram, damai yang didasari budi luhur, dan menciptakan perdamaian dunia secara menyeluruh. Untuk mewujudkan cita-cita tersebut, didirikanlah organisasi penghayat kepercayaan di berbagai daerah, mengadakan sarasehan, seminar dan membina kader-kader, membentuk panitia untuk mengumpulkan masukan-masukan dan intisari ajaran agama-agama untuk disinkretiskan, disumblimasikan dan diformulasikan menjadi bentuk ajaran baru, yang kemudian dibukukan menjadi sebuah kitab pedoman bagi aliran kepercayaan yang nilainya tidak kalah baik dengan kitab-kitab agama-agama. Mereka mengklaim bahwa kitab-kitab mereka merupakan rangkuman dari intisari kitab-kitab agama-agama.

Pesatnya perkembangan sejumlah kelompok mistik mengindikasikan adanya ketidakpuasan terhadap agama-agama mapan. Popularitas mistisisme merupakan reaksi terhadap dogmatisisme dan ritualisme yang mengesampingkan kebutuhan manusia akan ekspresi mistis dan pengalaman batin. Kebangkitan mistisisme kebatinan pada periode pasca kemerdekaan sampai saat ini dapat dilihat sebagai suatu pencarian ekspresi dan jati diri kultural yang tidak ditemukan dalam budaya-budaya yang dibawa oleh Islam atau agama-agama yang terstruktur dan dogmatis. Warisan budaya ini tentu sudah dihidupi lama oleh masyarakat Jawa pada khususnya sehingga tidak jarang kita melihat banyaknya sinkretisme budaya dan mistisisme Jawa dan Islam seperti tampak dalam upacara-upacara slametan, perkawinan, dll maupun sinkretisme budaya dan mistisisme Jawa dengan agama-agama lainnya.


DAFTAR PUSTAKA

Beatty, Andrew, Varieties of Javanese Religion : An Anthropological Account, Cambridge Studies in Social and Cultural Anthropology in Cambridge University, 1999.
Geertz, Clifford, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, Jakarta: Pustaka Jaya, 1989.
Hadikusuma, Hilman, Antropologi Agama, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993.
Ilyas, Mutholib – Imam, Ghofur, Aliran Kepercayaan dan Kebatinan di Indonesia, Surabaya: CV. Amin, 1988.
Lombard, Denys, Nusa Jawa: Silang Budaya, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005.
Mulder, Niels, Kepribadian Jawa dan Pembangunan Nasional, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1973.
___________ , Jawa – Thailand: Beberapa Perbandingan Sosial Budaya, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1983.
___________ , Mistisisme Jawa: Ideologi di Indonesia, Yogyakarta: LkiS, 2001.
Pemberton, John, “Jawa”: On the Subject of Java, Ithaca: Cornell University Press, 1994.
Woodward, Mark, Islam Jawa, Yogyakarta: LKiS, 1999.

[1] Ada banyak aliran-aliran kebatinan atau kepercayaan yang telah terorganisasi. Tulisan ini akan membatasi diri untuk menangkap unsur “Kejawèn”nya, bukan pada ajaran-ajarannya.
[2] Secara lengkap, Clifford Geertz memaparkan tulisannya dalam buku Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, Jakarta: Pustaka Jaya, 1989.
[3] Uraian mendetail kritikan Woodward pada Geertz dapat dibaca dalam buku Islam Jawa, Yogyakarta: LKiS, 1999. Buku ini merupakan kritikan bagi Clifford Geertz mengenai banyak hal yang tidak terjawab dalam bukunya, termasuk metode yang digunakan oleh Geertz.
[4] Niels Mulder, Jawa – Thailand: Beberapa Perbandingan Sosial Budaya, 61.
[5] Clifford Geertz memaparkan uraian yang lebih lengkap dalam buku Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa.
[6] Hilman Hadikusuma, Antropologi Agama, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993, 63.
[7] Secara lebih lengkap, topik ini dibahas oleh C. Geertz dalam buku Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa.
[8] Hilman Hadikusuma, Antropologi Agama, 64.
[9] Denys lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005, 102-103.
[10] Hilman Hadikusuma, Antropologi Agama, 65-66.
[11] Niels Mulder, Mistisisme Jawa: Ideologi di Indonesia, Yogyakarta: LkiS, 2001, 7-8.
[12] Niels Mulder, Jawa – Thailand: Beberapa Perbandingan Sosial Budaya, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 68.
[13] Hilman Hadikusuma, Antropologi Agama, 85.
[14] Niels Mulder, Kepribadian Jawa dan Pembangunan Nasional, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1973, 14.
[15] Niels Mulder, Mistisisme Jawa, 9.
[16] Niels Mulder, Mistisisme Jawa, 11.
[17] John Pemberton menguraikan hasil penelitiannya mengenai kebiasaan-kebiasaan orang Jawa berhubungan dengan praktek budaya Jawa yang sampai sekarang masih dihidupi dan sangat berpengaruh pada kehidupan politik bangsa Indonesia. Lih. John Pemberton, “Jawa”: On The Subject of Java, Ithaca: Cornell University Press, 1994.
[18] Niels Mulder, Jawa – Thailand: Beberapa Perbandingan Sosial Budaya, 69.
[19] Niels Mulder, Jawa – Thailand: Beberapa Perbandingan Sosial Budaya, 69-71..
[20] Hilman Hadikusuma, Antropologi Agama, 113.
[21] Mutholib Ilyas – Ghofur Imam, Aliran Kepercayaan dan Kebatinan di Indonesia, 160-161.
[22] Hilman Hadikusuma, Antropologi Agama, 116.
[23] Mutholib Ilyas – Ghofur Imam, Aliran Kepercayaan dan Kebatinan di Indonesia, 162-163.
[24] Hilman Hadikusuma, Antropologi Agama, 116-117.
[25] Mutholib Ilyas – Ghofur Imam, Aliran Kepercayaan dan Kebatinan di Indonesia, 163-165.
[26] Mutholib Ilyas – Ghofur Imam, Aliran Kepercayaan dan Kebatinan di Indonesia, Surabaya: CV. Amin, 1988, 97.
[27] Hilman Hadikusuma, Antropologi Agama, 103-104.
[28] Hilman Hadikusuma, Antropologi Agama, 104-105.
[29] Mutholib Ilyas – Ghofur Imam, Aliran Kepercayaan dan Kebatinan di Indonesia, 113-114.
[30] Mutholib Ilyas – Ghofur Imam, Aliran Kepercayaan dan Kebatinan di Indonesia, 125-150.
[31] Hilman Hadikusuma, Antropologi Agama, 130.
[32] Hilman Hadikusuma, Antropologi Agama, 131.
[33] Hilman Hadikusuma, Antropologi Agama, 131-132.
[34] Menurut inventaris yang dibuat oleh Direktorat Jenderal Kebudayaan Departmen P dan K tahun 1987.

Selasa, 08 Mei 2012

UUD no 3 Tahun 2002


 mudah-mudahan bisa membantu kalian semua.......

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2002 Tentang Pertahanan Negara
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
a.       bahwa pertahanan negara bertitik tolak pada falsafah dan pandangan hidup bangsa Indonesia untuk menjamin keutuhan dan tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
b.      bahwa pertahanan negara sebagai salah satu fungsi pemerintahan negara yang merupakan usaha untuk mewujudkan satu kesatuan pertahanan negara guna mencapai tujuan nasional, yaitu untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial;
c.       bahwa dalam penyelenggaraan pertahanan negara setiap warga negara mempunyai hak dan kewajiban untuk ikut serta dalam upaya pembelaan negara sebagai pencerminan kehidupan kebangsaan yang menjamin hak-hak warga negara untuk hidup setara, adil, aman, damai, dan sejahtera;
d.      bahwa usaha pertahanan negara dilaksanakan dengan membangun, memelihara, mengembangkan, dan menggunakan kekuatan pertahanan negara berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi, hak asasi manusia, kesejahteraan umum, lingkungan hidup, ketentuan hukum nasional, hukum internasional dan kebiasaan internasional, serta prinsip hidup berdampingan secara damai;
e.       bahwa Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1982 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3234) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1988 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1988 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3368) tidak sesuai lagi dengan perkembangan ketatanegaraan Republik Indonesia dan perubahan kelembagaan Tentara Nasional Indonesia yang didorong oleh perkembangan kesadaran hukum yang hidup dalam masyarakat sehingga Undang-Undang tersebut perlu diganti;
f.       bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, b, c, d, dan e perlu dibentuk Undang-Undang tentang Pertahanan Negara;
Mengingat :
1.      Pasal 5 ayat (1), Pasal 10, Pasal 11, Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 27 ayat (3), dan Pasal 30 Undang-Undang Dasar 1945;
2.       Ketetapan MPR-RI Nomor: VI/MPR/2000 tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Ketetapan MPR-RI Nomor: VII/MPR/2000 tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia;
Dengan persetujuan bersama antara
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PERTAHANAN NEGARA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1.         Pertahanan negara adalah segala usaha untuk mempertahankan kedaulatan negara, keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan keselamatan segenap bangsa dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara.
2.         Sistem pertahanan negara adalah sistem pertahanan yang bersifat semesta yang melibatkan seluruh warga negara, wilayah, dan sumber daya nasional lainnya, serta dipersiapkan secara dini oleh pemerintah dan diselenggarakan secara total, terpadu, terarah, dan berlanjut untuk menegakkan kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan segenap bangsa dari segala ancaman.
3.         Penyelenggaraan pertahanan negara adalah segala kegiatan untuk melaksanakan kebijakan pertahanan negara.
4.         Pengelolaan pertahanan negara adalah segala kegiatan pada tingkat strategis dan kebijakan yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan pengendalian pertahanan negara.
5.          Komponen utama adalah Tentara Nasional Indonesia yang siap digunakan untuk melaksanakan tugas-tugas pertahanan.
6.         Komponen cadangan adalah sumber daya nasional yang telah disiapkan untuk dikerahkan melalui mobilisasi guna memperbesar dan memperkuat kekuatan dan kemampuan komponen utama.
7.          Komponen pendukung adalah sumber daya nasional yang dapat digunakan untuk meningkatkan kekuatan dan kemampuan komponen utama dan komponen cadangan.
8.         Sumber daya nasional adalah sumber daya manusia, sumber daya alam, dan sumber daya buatan.
9.         Sumber daya alam adalah potensi yang terkandung dalam bumi, air, dan dirgantara yang dalam wujud asalnya dapat didayagunakan untuk kepentingan pertahanan negara.
10.      Sumber daya buatan adalah sumber daya alam yang telah ditingkatkan dayagunanya untuk kepentingan pertahanan negara.
11.     Sarana dan prasarana nasional adalah hasil budi daya manusia yang dapat   digunakan sebagai alat penunjang untuk kepentingan pertahanan negara dalam rangka mendukung kepentingan nasional.
12.     Warga negara adalah warga negara Republik Indonesia.
13.     Dewan Perwakilan Rakyat adalah Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
14.     Menteri adalah Menteri yang bertanggung jawab di bidang pertahanan.
15.      Panglima adalah Panglima Tentara Nasional Indonesia.
16.      Kepala Staf Angkatan adalah Kepala Staf Tentara Nasional Indonesia Angkatan      Darat, Kepala Staf Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut, dan Kepala Staf Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara.
                                                    
BAB II
HAKIKAT, DASAR, TUJUAN, DAN FUNGSI
Pasal 2
Hakikat pertahanan negara adalah segala upaya pertahanan bersifat semesta yang penyelenggaraannya didasarkan pada kesadaran atas hak dan kewajiban warga negara serta keyakinan pada kekuatan sendiri.
Pasal 3
(1)   Pertahanan negara disusun berdasarkan prinsip demokrasi, hak asasi manusia, kesejahteraan umum, lingkungan hidup, ketentuan hukum nasional, hukum internasional dan kebiasaan internasional, serta prinsip hidup berdampingan secara damai.
(2)    Pertahanan negara disusun dengan memperhatikan kondisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan.
Pasal 4
Pertahanan negara bertujuan untuk menjaga dan melindungi kedaulatan negara, keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan keselamatan segenap bangsa dari segala bentuk ancaman.
Pasal 5
Pertahanan negara berfungsi untuk mewujudkan dan mempertahankan seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai satu kesatuan pertahanan.

BAB III
PENYELENGGARAAN PERTAHANAN NEGARA
Pasal 6
Pertahanan negara diselenggarakan melalui usaha membangun dan membina kemampuan, daya tangkal negara dan bangsa, serta menanggulangi setiap ancaman.
Pasal 7
(1)   Pertahanan negara, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, diselenggarakan oleh pemerintah dan dipersiapkan secara dini dengan sistem pertahanan negara.
(2)   Sistem pertahanan negara dalam menghadapi ancaman militer menempatkan Tentara Nasional Indonesia sebagai komponen utama dengan didukung oleh komponen cadangan dan komponen pendukung.
(3)   Sistem pertahanan negara dalam menghadapi ancaman nonmiliter menempatkan lembaga pemerintah di luar bidang pertahanan sebagai unsur utama, sesuai dengan bentuk dan sifat ancaman yang dihadapi dengan didukung oleh unsur-unsur lain dari kekuatan bangsa.
                                     
Pasal 8
(1)   Komponen cadangan, terdiri atas warga negara, sumber daya alam, sumber daya buatan, serta sarana dan prasarana nasional yang telah disiapkan untuk dikerahkan melalui mobilisasi guna memperbesar dan memperkuat komponen utama.
(2)    Komponen pendukung, terdiri atas warga negara, sumber daya alam, sumberdaya buatan, serta sarana dan prasarana nasional yang secara langsung atau tidak langsung dapat meningkatkan kekuatan dan kemampuan komponen utama dan komponen cadangan.
(3)    Komponen cadangan dan komponen pendukung, sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), diatur dengan undang-undang.

Pasal 9
(1)   Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya bela negara yang diwujudkan dalam penyelenggaraan pertahanan negara.
(2)   Keikutsertaan warga negara dalam upaya bela negara, sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diselenggarakan melalui:
a.       pendidikan kewarganegaraan;
b.      pelatihan dasar kemiliteran secara wajib;
c.       pengabdian sebagai prajurit Tentara Nasional Indonesia secara sukarela atau secara wajib.
d.      pengabdian sesuai dengan profesi.
(3)   Ketentuan mengenai pendidikan kewarganegaraan, pelatihan dasar kemiliteran secara wajib, dan pengabdian sesuai dengan profesi diatur dengan undang-undang.

Pasal 10
(1)   Tentara Nasional Indonesia berperan sebagai alat pertahanan Negara Kesatuan Republik                                      Indonesia.
(2)    Tentara Nasional Indonesia, terdiri atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara.
(3)   Tentara Nasional Indonesia bertugas melaksanakan kebijakan pertahanan negara untuk:
a.       Mempertahankan kedaulatan negara dan keutuhan wilaya.
b.       Melindungi kehormatan dan keselamatan bangsa;
c.        Menjalankan Operasi Militer Selain Perang;
d.      Ikut serta secara aktif dalam tugas pemeliharaan perdamaian regional dan internasional.

Pasal 11
Susunan organisasi, tugas dan fungsi Tentara Nasional Indonesia sebagai alat pertahanan negara diatur dengan undang-undang.
BAB IV
PENGELOLAAN SISTEM  PERTAHANAN NEGARA
Pasal 12
Pengelolaan sistem pertahanan negara sebagai salah satu fungsi pemerintahan negara ditujukan untuk melindungi kepentingan nasional dan mendukung kebijakan nasional di bidang pertahanan.

Pasal 13
(1)   Presiden berwenang dan bertanggung jawab dalam pengelolaan sistem pertahanan negara.
(2)   Dalam pengelolaan sistem pertahanan negara, sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Presiden menetapkan kebijakan umum pertahanan negara yang menjadi acuan bagi perencanaan, penyelenggaraan, dan pengawasan sistem pertahanan negara.

Pasal 14
(1)   Presiden berwenang dan bertanggung jawab atas pengerahan kekuatan Tentara Nasional Indonesia.
(2)   Dalam hal pengerahan kekuatan Tentara Nasional Indonesia untuk menghadapi ancaman bersenjata, kewenangan Presiden sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
(3)   Dalam keadaan memaksa untuk menghadapi ancaman bersenjata, Presiden dapat langsung mengerahkan kekuatan Tentara Nasional Indonesia.
(4)   Pengerahan langsung kekuatan Tentara Nasional Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), Presiden dalam waktu paling lambat 2 X 24 (dua kali dua puluh empat) jam harus mengajukan persetujuan kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
(5)   Dalam hal Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui pengerahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), Presiden menghentikan pengerahan operasi militer.
                                                                                             
Pasal 15
(1)   Dalam menetapkan kebijakan umum pertahanan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2), Presiden dibantu oleh Dewan Pertahanan Nasional.
(2)   Dewan Pertahanan Nasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), berfungsi sebagai penasihat Presiden dalam menetapkan kebijakan umum pertahanan dan pengerahan segenap komponen pertahanan negara.
(3)   Dalam rangka melaksanakan fungsinya, Dewan Pertahanan Nasional mempunyai tugas:
a.       Menelaah, menilai, dan menyusun kebijakan terpadu pertahanan negara agar departemen pemerintah, lembaga pemerintah nondepartemen, dan masyarakat beserta Tentara Nasional Indonesia dapat melaksanakan tugas dan tanggung jawab masing-masing dalam mendukung penyelenggaraan pertahanan negara.
b.       Menelaah, menilai, dan menyusun kebijakan terpadu pengerahan komponen pertahanan negara dalam rangka mobilisasi dan demobilisasi.
c.       Menelaah dan menilai resiko dari kebijakan yang akan ditetapkan.
(4)   Dewan Pertahanan Nasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dipimpin oleh Presiden dengan keanggotaan terdiri atas anggota tetap dan anggota tidak tetap dengan hak dan kewajiban yang sama.
(5)   Anggota tetap, terdiri atas Wakil Presiden, Menteri Pertahanan, Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri, dan Panglima.
(6)   Anggota tidak tetap, terdiri atas pejabat pemerintah dan nonpemerintah yang dianggap perlu sesuai dengan masalah yang dihadapi.
(7)   Anggota tidak tetap dari unsur pemerintah diusulkan dan diangkat oleh Presiden, sedangkan dari unsur nonpemerintah diusulkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan diangkat oleh Presiden.
(8)   Susunan organisasi dan tata kerja Dewan Pertahanan Nasional, sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden.
                
Pasal 16
1.      Menteri memimpin Departemen Pertahanan.
2.      Menteri membantu Presiden dalam merumuskan kebijakan umum pertahanan negara.
3.      Menteri menetapkan kebijakan tentang penyelenggaraan pertahanan negara berdasarkan kebijakan umum yang ditetapkan Presiden.
4.      Menteri menyusun buku putih pertahanan serta menetapkan kebijakan kerja sama bilateral, regional, dan internasional di bidangnya.
5.      Menteri merumuskan kebijakan umum penggunaan kekuatan Tentara Nasional Indonesia dan komponen pertahanan lainnya.
6.      Menteri menetapkan kebijakan penganggaran, pengadaan, perekrutan, pengelolaan sumber daya nasional, serta pembinaan teknologi dan industri pertahanan yang diperlukan oleh Tentara Nasional Indonesia dan komponen kekuatan pertahanan lainnya.
7.       Menteri bekerjasama dengan pimpinan departemen dan instansi pemerintah lainnya serta menyusun dan melaksanakan perencanaan strategis pengelolaan sumber daya nasional untuk kepentingan pertahanan.
                               
Pasal 17
1.      Presiden mengangkat dan memberhentikan Panglima setelah mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
2.      Pengangkatan Panglima, sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diangkat dari perwira tinggi Tentara Nasional Indonesia yang sedang atau pernah menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan.
3.      Presiden mengangkat dan memberhentikan Kepala Staf Angkatan atas usul Panglima.
4.      Tata cara pengangkatan dan pemberhentian Panglima dan Kepala Staf Angkatan, sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (3), diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden.
                                                                          Pasal 18                                    
1.    Panglima memimpin Tentara Nasional Indonesia.
2.     Panglima menyelenggarakan perencanaan strategi dan operasi militer, pembinaan profesi dan kekuatan militer, serta memelihara kesiagaan operasional.
3.     Panglima berwenang menggunakan segenap komponen pertahanan negara dalam penyelenggaraan operasi militer berdasarkan undang-undang.
4.    Panglima bertanggung jawab kepada Presiden dalam penggunaan komponen pertahanan negara dan bekerja sama dengan Menteri dalam pemenuhan kebutuhan Tentara Nasional Indonesia.
                                 
Pasal 19
Dalam menghadapi bentuk dan sifat ancaman nonmiliter di luar wewenang instansi pertahanan, penanggulangannya dikoordinasikan oleh pimpinan instansi sesuai bidangnya.
BAB V
PEMBINAAN KEMAMPUAN PERTAHANAN

Pasal 20
1.      Pembinaan kemampuan pertahanan negara ditujukan untuk terselenggaranya sebuah sistem pertahanan negara sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini.
2.       Segala sumber daya nasional yang berupa sumber daya manusia, sumber daya alam dan buatan, nilai-nilai, teknologi, dan dana dapat didayagunakan untuk meningkatkan kemampuan pertahanan negara yang diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
3.      Pembangunan di daerah harus memperhatikan pembinaan kemampuan pertahanan, sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), yang selanjutnya diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 21
Pendayagunaan segala sumber daya alam dan buatan harus memperhatikan prinsip-prinsip berkelanjutan, keragaman, dan produktivitas lingkungan hidup.

Pasal 22
(1)   Wilayah Indonesia dapat dimanfaatkan untuk pembinaan kemampuan pertahanan dengan memperhatikan hak masyarakat dan peraturan perundang-undangan.
(2)   Wilayah yang digunakan sebagai instalasi militer dan latihan militer yang strategis dan permanen ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
                            
Pasal 23
(1)   Dalam rangka meningkatkan kemampuan pertahanan negara, pemerintah melakukan penelitian dan pengembangan industri dan teknologi di bidang pertahanan.
(2)   Dalam menjalankan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Menteri mendorong dan memajukan pertumbuhan industri pertahanan.

BAB VI
PEGAWASAN
Pasal 24
(1)   Dewan Perwakilan Rakyat melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan umum pertahanan Negara.
(2)   Dewan Perwakilan Rakyat dapat meminta keterangan tentang penyelenggaraan dan pengelolaan pertahanan Negara.
BAB VII
PEMBIAYAAN
Pasal 25
1.      Pertahanan negara dibiayai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
2.      Pembiayaan pertahanan negara ditujukan untuk membangun, memelihara, mengembangkan, dan menggunakan Tentara Nasional Indonesia serta komponen pertahanan lainnya.

BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 26
Pada saat berlakunya Undang-Undang ini, semua peraturan pelaksanaan tentang pertahanan negara yang sudah ada dinyatakan tetap berlaku selama peraturan pelaksanaan yang baru berdasarkan Undang-Undang ini belum dikeluarkan dan sepanjang peraturan itu tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini.

Pasal 27
Organisasi atau badan yang merupakan unsur penyelenggaraan pertahanan negara yang sudah ada tetap berlaku sampai dengan diubah atau diganti dengan organisasi atau badan baru berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang ini.

BAB IX
KETENTUAN PENUTUPAN

Pasal 28
Pada saat mulai berlakunya Undang-Undang ini, maka Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1982 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3234) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1988 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1988 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3368), dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 29
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta 8 Januari 2002 pada tanggal
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 8 Januari 2002
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA
BAMBANG KESOWO