Senin, 02 Januari 2012

KERAJAAN SRIWIJAYA

Sriwijaya adalah kerajaan Melayu kuno di pulau Sumatra yang banyak berpengaruh di Nusantara. Bukti awal mengenai keberadaan kerajaan ini berasal dari abad ke-7; seorang pendeta Tiongkok, I-Tsing, menulis bahwa ia mengunjungi Sriwijaya tahun 671 selama 6 bulan. Prasasti pertama mengenai Sriwijaya juga berada pada abad ke-7, yaitu Prasasti Kedukan Bukit di Palembang, Sumatra, pada tahun 683. Kerajaan ini mulai jatuh sekitar tahun 1200 - 1300 karena berbagai faktor, termasuk ekspansi kerajaan Majapahit. Dalam bahasa Sansekerta, sri berarti "bercahaya" dan wijaya berarti "kemenangan".

PENGETAHUAN mengenai sejarah Sriwijaya baru lahir pada permulaan abad ke-20 M, ketika George Coedes menulis karangannya berjudul Le Royaume de Crivijaya pada tahun 1918 M. Sebenarnya, lima tahun sebelum itu, yaitu pada tahun 1913 M, Kern telah menerbitkan Prasasti Kota Kapur, sebuah prasasti peninggalan Sriwijaya yang ditemukan di Pulau Bangka. Namun, saat itu, Kern masih menganggap nama Sriwijaya yang tercantum pada prasasti tersebut sebagai nama seorang raja, karena Cri biasanya digunakan sebagai sebutan atau gelar raja.

Pada tahun 1896 M, sarjana Jepang Takakusu menerjemahkan karya I-tsing, Nan-hai-chi-kuei-nai fa-ch‘uan ke dalam bahasa Inggris dengan judul A Record of the Budhist Religion as Practised in India and the Malay Archipelago. Namun, dalam buku tersebut tidak terdapat nama Sriwijaya, yang ada hanya Shih-li-fo-shih. Dari terjemahan prasasti Kota Kapur yang memuat nama Sriwijaya dan karya I-Tsing yang memuat nama Shih-li-fo-shih, Coedes kemudian menetapkan bahwa, Sriwijaya adalah nama sebuah kerajaan di Sumatera Selatan.
Lebih lanjut, Coedes juga menetapkan bahwa, letak ibukota Sriwijaya adalah Palembang, dengan bersandar pada anggapan Groeneveldt dalam karangannya, Notes on the Malay Archipelago and Malacca, Compiled from Chinese Source, yang menyatakan bahwa, San-fo-ts‘I adalah Palembang. Sumber lain, yaitu Beal mengemukakan pendapatnya pada tahun 1886 bahwa, Shih-li-fo-shih merupakan suatu daerah yang terletak di tepi Sungai Musi, dekat kota Palembang sekarang. Dari pendapat ini, kemudian muncul suatu kecenderungan di kalangan sejarawan untuk menganggap Palembang sebagai pusat Kerajaan Sriwijaya.
Sumber lain yang mendukung keberadaan Palembang sebagai pusat kerajaan adalah prasasti Telaga Batu. Prasasti ini berbentuk batu lempeng mendekati segi lima, di atasnya ada tujuh kepala ular kobra, dengan sebentuk mangkuk kecil dengan cerat (mulut kecil tempat keluar air) di bawahnya. Menurut para arkeolog, prasasti ini digunakan untuk pelaksanaan upacara sumpah kesetiaan dan kepatuhan para calon pejabat. Dalam prosesi itu, pejabat yang disumpah meminum air yang dialirkan ke batu dan keluar melalui cerat tersebut. Sebagai sarana untuk upacara persumpahan, prasasti seperti itu biasanya ditempatkan di pusat kerajaan. Karena ditemukan di sekitar Palembang pada tahun 1918 M, maka diduga kuat Palembang merupakan pusat Kerajaan Sriwijaya.
Petunjuk lain yang menyatakan bahwa Palembang merupakan pusat kerajaan juga diperoleh dari hasil temuan barang-barang keramik dan tembikar di situs Talang Kikim, Tanjung Rawa, Bukit Siguntang dan Kambang Unglen, semuanya di daerah Palembang. Keramik dan tembikar tersebut merupakan alat yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Temuan ini menunjukkan bahwa, pada masa dulu, di Palembang terdapat pemukiman kuno. Dugaan ini semakin kuat dengan hasil interpretasi foto udara di daerah sebelah barat Kota Palembang, yang menggambarkan bentuk-bentuk kolam dan kanal. Kolam dan kanal-kanal yang bentuknya teratur itu kemungkinan besar buatan manusia, bukan hasil dari proses alami. Dari hasil temuan keramik dan kanal-kanal ini, maka dugaan para arkeolog bahwa Palembang merupakan pusat kerajaan semakin kuat.
Sebagai pusat kerajaan, kondisi Palembang ketika itu bersifat mendesa (rural), tidak seperti pusat-pusat kerajaan lain yang ditemukan di wilayah Asia Tenggara daratan, seperti di Thailand, Kamboja, dan Myanmar. Bahan utama yang dipakai untuk membuat bangunan di pusat kota Sriwijaya adalah kayu atau bambu yang mudah didapatkan di sekitarnya. Oleh karena bahan itu mudah rusak termakan zaman, maka tidak ada sisa bangunan yang dapat ditemukan lagi. Kalaupun ada, sisa pemukiman dengan konstruksi kayu tersebut hanya dapat ditemukan di daerah rawa atau tepian sungai yang terendam air, bukan di pusat kota, seperti di situs Ujung Plancu, Kabupaten Batanghari, Jambi. Memang ada bangunan yang dibuat dari bahan bata atau batu, tapi hanya bangunan sakral (keagamaan), seperti yang ditemukan di Palembang, di situs Gedingsuro, Candi Angsoka, dan Bukit Siguntang, yang terbuat dari bata. Sayang sekali, sisa bangunan yang ditemukan tersebut hanya bagian pondasinya saja.
Seiring perkembangan, semakin banyak ditemukan data sejarah berkenaan dengan Sriwijaya. Selain prasasti Kota Kapur, juga ditemukan prasasti Karang Berahi (ditemukan tahun 1904 M), Telaga Batu (ditemukan tahun 1918 M), Kedukan Bukit (ditemukan tahun 1920 M) Talang Tuo (ditemukan tahun 1920 M) dan Boom Baru. Di antara prasasti di atas, prasasti Kota Kapur merupakan yang paling tua, bertarikh 682 M, menceritakan tentang kisah perjalanan suci Dapunta Hyang dari Minanga dengan perahu, bersama dua laksa (20.000) tentara dan 200 peti perbekalan, serta 1.213 tentara yang berjalan kaki. Perjalanan ini berakhir di mukha-p. Di tempat tersebut, Dapunta Hyang kemudian mendirikan wanua (perkampungan) yang diberi nama Sriwijaya.
Dalam prasasti Talang Tuo yang bertarikh 684 M, disebutkan mengenai pembangunan taman oleh Dapunta Hyang Sri Jayanasa untuk semua makhluk, yang diberi nama Sriksetra. Dalam taman tersebut, terdapat pohon-pohon yang buahnya dapat dimakan.
Data tersebut semakin lengkap dengan adanya berita Cina dan Arab. Sumber Cina yang paling sering dikutip adalah catatan I-tsing.
Ia merupakan seorang peziarah Budha dari China yang telah mengunjungi Sriwijaya beberapa kali dan sempat bermukim beberapa lama. Kunjungan I-sting pertama adalah tahun 671 M. Dalam catatannya disebutkan bahwa, saat itu terdapat lebih dari seribu orang pendeta Budha di Sriwijaya. Aturan dan upacara para pendeta Budha tersebut sama dengan aturan dan upacara yang dilakukan oleh para pendeta Budha di India. I-tsing tinggal selama 6 bulan di Sriwijaya untuk belajar bahasa Sansekerta, setelah itu, baru ia berangkat ke Nalanda, India. Setelah lama belajar di Nalanda, I-tsing kembali ke Sriwijaya pada tahun 685 dan tinggal selama beberapa tahun untuk menerjemahkan teks-teks Budha dari bahasa Sansekerta ke bahasa Cina. Catatan Cina yang lain menyebutkan tentang utusan Sriwijaya yang datang secara rutin ke Cina, yang terakhir adalah tahun 988 M.

Dalam sumber lain, yaitu catatan Arab, Sriwijaya disebut Sribuza. Mas‘udi, seorang sejarawan Arab klasik menulis catatan tentang Sriwijaya pada tahun 955 M. Dalam catatan itu, digambarkan Sriwijaya merupakan sebuah kerajaan besar, dengan tentara yang sangat banyak. Hasil bumi Sriwijaya adalah kapur barus, kayu gaharu, cengkeh, kayu cendana, pala, kardamunggu, gambir dan beberapa hasil bumi lainya.
Dari catatan asing tersebut, bisa diketahui bahwa Sriwijaya merupakan kerajaan besar pada masanya, dengan wilayah dan relasi dagang yang luas sampai ke Madagaskar. Sejumlah bukti lain berupa arca, stupika, maupun prasasti lainnya semakin menegaskan bahwa, pada masanya Sriwijaya adalah kerajaan yang mempunyai komunikasi yang baik dengan para saudagar dan pendeta di Cina, India dan Arab. Hal ini hanya mungkin bisa dilakukan oleh sebuah kerajaan yang besar, berpengaruh, dan diperhitungkan di kawasannya.
Pada abad ke-11 M, Sriwijaya mulai mengalami kemunduran. Pada tahun 1006 M, Sriwijaya diserang oleh Dharmawangsa dari Jawa Timur. Serangan ini berhasil dipukul mundur, bahkan Sriwijaya mampu melakukan serangan balasan dan berhasil menghancurkan kerajaan Dharmawangsa. Pada tahun 1025 M, Sriwijaya mendapat serangan yang melumpuhkan dari kerajaan Cola, India. Walaupun demikian, serangan tersebut belum mampu melenyapkan Sriwijaya dari muka bumi. Hingga awal abad ke-13 M, Sriwijaya masih tetap berdiri, walaupun kekuatan dan pengaruhnya sudah sangat jauh berkurang.

Silsilah

Salah satu cara untuk memperluas pengaruh kerajaan adalah dengan melakukan perkawinan dengan kerajaan lain. Hal ini juga dilakukan oleh penguasa Sriwijaya. Dapunta Hyang yang berkuasa sejak 664 M, melakukan pernikahan dengan Sobakancana, putri kedua raja Kerajaan Tarumanegara, Linggawarman. Perkawinan ini melahirkan seorang putra yang menjadi raja Sriwijaya berikutnya: Dharma Setu. Dharma Setu kemudian memiliki putri yang bernama Dewi Tara. Putri ini kemudian ia nikahkan dengan Samaratungga, raja Kerajaan Mataram Kuno dari Dinasti Syailendra. Dari pernikahan Dewi Setu dengan Samaratungga, kemudian lahir Bala Putra Dewa yang menjadi raja di Sriwijaya dari 833 hingga 856 M. Berikut ini daftar silsilah para raja Sriwijaya:
Dapunta Hyang Sri Jayanasa (Prasasti Kedukan Bukit 683, Talang Tuo, 684).
1. Cri Indrawarman (berita Cina, tahun 724).
2. Rudrawikrama (berita Cina, tahun 728, 742).
3. Wishnu (prasasti Ligor, 775).
4. Maharaja (berita Arab, tahun 851).
5. Balaputradewa (prasasti Nalanda, 860).
6. Cri Udayadityawarman (berita Cina, tahun 960).
7. Cri Udayaditya (berita Cina, tahun 962).
8. Cri Cudamaniwarmadewa (berita Cina, tahun 1003, prasasti Leiden, 1044).
9. Maraviyayatunggawarman (prasasti Leiden, 1044).
10. Cri Sanggaramawijayatunggawarman (prasasti Chola, 1044).

Periode Pemerintahan

Kerajaan Sriwijaya berkuasa dari abad ke-7 hingga awal abad ke-13 M, dan mencapai zaman keemasan di era pemerintahan Balaputra Dewa (833-856 M). Kemunduran kerajaan ini berkaitan dengan masuk dan berkembangnya agama Islam di Sumatera, dan munculnya kekuatan Singosari dan Majapahit di Pulau Jawa.
Wilayah Kekuasaan
Dalam sejarahnya, kerasaan Sriwijaya menguasai bagian barat Nusantara. Salah satu faktor yang menyebabkan Sriwijaya bisa menguasai seluruh bagian barat Nusantara adalah runtuhnya kerajaan Fu-nan di Indocina. Sebelumnya, Fu-nan adalah satu-satunya pemegang kendali di wilayah perairan Selat Malaka. Faktor lainnya adalah kekuatan armada laut Sriwijaya yang mampu menguasai jalur lalu lintas perdagangan antara India dan Cina. Dengan kekuatan armada yang besar, Sriwijaya kemudian melakukan ekspansi wilayah hingga ke pulau Jawa. Dalam sumber lain dikatakan bahwa, kekuasaan Sriwijaya sampai ke Brunei di pulau Borneo.
Dari prasasti Kota Kapur yang ditemukan JK Van der Meulen di Pulau Bangka pada bulan Desember 1892 M, diperoleh petunjuk mengenai Kerajaan Sriwijaya yang sedang berusaha menaklukkan Bumi Jawa. Meskipun tidak dijelaskan wilayah mana yang dimaksud dengan Bhumi Jawa dalam prasasti itu, beberapa arkeolog meyakini, yang dimaksud Bhumi Jawa itu adalah Kerajaan Tarumanegara di Pantai Utara Jawa Barat. Selain dari isi prasasti, wilayah kekuasaan Sriwijaya juga bisa diketahui dari persebaran lokasi prasasti-prasasti peninggalan Sriwjaya tersebut. Di daerah Lampung ditemukan prasasti Palas Pasemah, di Jambi ada Karang Berahi, di Bangka ada Kota kapur, di Riau ada Muara Takus. Semua ini menunjukkan bahwa, daerah-daerah tersebut pernah dikuasai Sriwijaya. Sumber lain ada yang mengatakan bahwa, kekuasaan Sriwijaya sebenarnya mencapai Philipina. Ini merupakan bukti bahwa, Sriwijaya pernah menguasai sebagian besar wilayah Nusantara.
Struktur Pemerintahan
Kekuasaan tertinggi di Kerajaan Sriwijaya dipegang oleh raja. Untuk menjadi raja, ada tiga persyaratan yaitu:
1. Samraj, artinya berdaulat atas rakyatnya.
2. Indratvam, artinya memerintah seperti Dewa Indra yang selalu memberikan kesejahteraan pada rakyatnya.
3. Ekachattra. Eka berarti satu dan chattra berarti payung. Kata ini bermakna mampu memayungi (melindungi) seluruh rakyatnya.
Penyamaan raja dengan Dewa Indra menunjukkan raja di Sriwijaya memiliki kekuasaan yang bersifat transenden.
Belum diketahui secara jelas bagaimana struktur pemerintahan di bawah raja. Salah satu pembantunya yang disebut secara jelas hanya senapati yang bertugas sebagai panglima perang.
Kehidupan Ekonomi, Sosial, Budaya
Sebagai kerajaan besar yang menganut agama Budha, di Sriwijaya telah berkembang iklim yang kondusif untuk mengembangkan agama Budha tersebut. Dalam catatan perjalanan I-tsing disebutkan bahwa, pada saat itu, di Sriwijaya terdapat seribu pendeta. Dalam perjalanan pertamanya, I-tsing sempat bermukim selama enam bulan di Sriwijaya untuk mendalami bahasa Sansekerta. I-tsing juga menganjurkan, jika seorang pendeta Cina ingin belajar ke India, sebaiknya belajar dulu setahun atau dua tahun di Fo-shih (Palembang), baru kemudian belajar di India. Sepulangnya dari Nalanda, I-tsing menetap di Sriwijaya selama tujuh tahun (688-695 M) dan menghasilkan dua karya besar yaitu Ta T‘ang si-yu-ku-fa-kao-seng-chuan dan Nan-hai-chi-kuei-nei-fa-chuan (A Record of the Budhist Religion as Practised in India and the Malay Archipelago) yang selesai ditulis pada tahun 692 M. Ini menunjukkan bahwa, Sriwijaya merupakan salah satu pusat agama Budha yang penting pada saat itu.
Sampai awal abad ke-11 M, Kerajaan Sriwijaya masih merupakan pusat studi agama Buddha Mahayana. Dalam relasinya dengan India, raja-raja Sriwijaya membangun bangunan suci agama Budha di India. Fakta ini tercantum dalam dua buah prasasti, yaitu prasasti Raja Dewapaladewa dari Nalanda, yang diperkirakan berasal dari abad ke-9 M; dan prasasti Raja Rajaraja I yang berangka tahun 1044 M dan 1046 M.
Prasasti pertama menyebutkan tentang Raja Balaputradewa dari Suwarnadwipa (Sriwijaya) yang membangun sebuah biara; sementara prasasti kedua menyebutkan tentang Raja Kataha dan Sriwijaya, Marawijayayottunggawarman yang memberi hadiah sebuah desa untuk dipersembahkan kepada sang Buddha yang berada dalam biara Cudamaniwarna, Nagipattana, India.
Di bidang perdagangan, Kerajaan Sriwijaya mempunyai hubungan perdagangan yang sangat baik dengan saudagar dari Cina, India, Arab dan Madagaskar. Hal itu bisa dipastikan dari temuan mata uang Cina, mulai dari periode Dinasti Song (960-1279 M) sampai Dinasti Ming (abad 14-17 M). Berkaitan dengan komoditas yang diperdagangkan, berita Arab dari Ibn al-Fakih (902 M), Abu Zayd (916 M) dan Mas‘udi (955 M) menyebutkan beberapa di antaranya, yaitu cengkeh, pala, kapulaga, lada, pinang, kayu gaharu, kayu cendana, kapur barus, gading, timah, emas, perak, kayu hitam, kayu sapan, rempah-rempah, dan penyu. Barang-barang ini dibeli oleh pedagang asing, atau dibarter dengan porselen, kain katun dan kain sutra.
***
Sumber :
1. Slamet Muljana, Sriwijaya, Yogyakarta: LkiS
2. D.G.E. Hall, Sejarah Asia Tenggara. Surabaya: Usaha Nasional.
3. Ensiklopedi Nasional Indonesia
4. Tim Universitas Riau, Sejarah Riau, Yogyakarta: Adicita Karya Nusa
5. Rakaryan Sukarjaputra, Kompas: 29 Juni 2001
6. Wikipedia

KERAJAAN MAJAPAHIT

Kerajaan Majapahit Didirikan tahun 1294 oleh Raden Wijaya yang bergelar Kertarajasa Jayawardana yang merupakan keturunan Ken Arok raja Singosari.
Raja-Raja yang pernah memerintah Kerajaan Majapahit:
  1. Raden Wijaya 1273 – 1309
  2. Jayanegara 1309-1328
  3. Tribhuwanatunggaldewi 1328-1350
  4. Hayam Wuruk 1350-1389
  5. Wikramawardana 1389-1429
  6. Kertabhumi 1429-1478
Kerajaan Majapahit ini mencapai puncak kejayaannya di masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk (1350-1389). Kebesaran kerajaan ditunjang oleh pertanian sudah teratur, perdagangan lancar dan maju, memiliki armada angkutan laut yang kuat serta dipimpin oleh Hayam Wuruk dengan patih Gajah Mada.
Di bawah patih Gajah Mada Majapahit banyak menaklukkan daerah lain. Dengan semangat persatuan yang dimilikinya, dan membuatkan Sumpah Palapa yang berbunyi “Ia tidak akan makan buah palapa sebelum berhasil menyatukan seluruh wilayah Nusantara”.
Mpu Prapanca dalam bukunya Negara Kertagama menceritakan tentang zaman gemilang kerajaan di masa Hayam Wuruk dan juga silsilah raja sebelumnya tahun 1364 Gajah Mada meninggal disusun oleh Hayam Wuruk di tahun 1389 dan kerajaan Majapahit mulai mengalami kemunduran.
Penyebab kemunduran:
Majapahit kehilangan tokoh besar seperti Hayam Wuruk dan Gajah Mada meletusnya Perang Paragreg tahun 1401-1406 merupakan perang saudara memperebutkan kekuasaan daerah bawahan mulai melepaskan diri.
Peninggalan kerajaan Majapahit:
Bangunan: Candi Panataran, Sawentar, Tiga Wangi, Muara Takus
Kitab: Negara Kertagama oleh Mpu Prapanca, Sitosoma oleh Mpu Tantular yang memuat slogan Bhinneka Tunggal Ika.
Paraton Kidung Sundayana dan Sorandaka R Wijaya Mendapat Wangsit Mendirikan Kerajaan Majapahit.
Dua pohon beringin di pintu masuk Pendopo Agung di Trowulan, Mojokerto. Dua pohon beringin itu ditanam pada 22 Desemebr 1973 oleh Pangdam Widjojo Soejono dan Gubernur Moehammad Noer.
Di belakang bangunan Pendopo Agung yang memampang foto para Pangdam Brawijaya, terdapat bangunan mungil yang dikelilingi kuburan umum. Bangunan bernama Petilasan Panggung itu diyakini Petilasan Raden Wijaya dan tempat Patih Gajah Mada mengumandangkan Sumpah Palapa.
Begitu memasuki bangunan Petilasan Panggung, yang memiliki pendopo mini sebagai latarnya, tampak beberapa bebatuan yang dibentuk layaknya kuburan, dinding di sekitar ” kuburan ” itu diselimuti kelambu putih transparan yang mampu menambah kesakralan tempat itu.
Menurut Sajadu ( 53 ) penjaga Petilasan Panggung, disinilah dulu Raden Wijaya bertapa sampai akhirnya mendapat wangsit mendirikan kerajaan Majapahit. Selain itu, ditempat ini pula Patih Gajah Mada mengumandangkan Sumpah Palapa. ” Tempat ini dikeramatkan karena dianggap sebagai Asnya Kerajaan Majapahit ” katanya.
Pada waktu tertentu khususnya bertepatan dengan malam jumat legi, banyak orang datang untuk berdoa dan mengharapkan berkah. ” orang berdatangan untuk berdoa, agar tujuannya tercapai ” kata Sajadu yang menyatakan pekerjaan menjaga Petilasan Panggung sudah dilakukan turun-temurun sejak leluhurnya.
Sembari menghisap rokok kreteknya, pria yang mewarisi sebagai penjaga petilasan dari ayahnya sejak 1985 juga menceritakan, dulunya tempat itu hanya berupa tumpukkan bebatuan. Sampai sekarang, batu tersebut masih ada di dalam, katanya.
Kemudian pada 1964, dilakukan pemugaran pertama kali oleh Ibu Sudarijah atau yang dikenal dengan Ibu Dar Moeriar dari Surabaya. Baru pada tahun 1995 dilakukan pemugaran kembali oleh Pangdam Brawijaya yang saat itu dijabat oleh Utomo.
Memasuki kawasan Petilasan Panggung, terpampang gambar Gajah Mada tepat disamping pintu masuk. Sedangkan dibagian depan pintu bergantung sebuah papan kecil dengan tulisan ” Lima Pedoman ” yang merupakan pedoman suri teladan bagi warga.
Selengkapnya ” Ponco Waliko ” itu bertuliskan ” Kudutrisno Marang Sepadane Urip, Ora Pareng Ngilik Sing Dudu Semestine, Ora Pareng Sepatah Nyepatani dan Ora Pareng Eidra Hing Ubaya ”
Dikisahkan Sajadu pula, Petilasan Panggung ini sempat dinyatakan tertutup bagi umum pada tahun 1985 hingga 1995. Baru setelah itu dibuka lagi untuk umum, sejak dinyatakan dibuka lagi, pintu depan tidak lagi tertutup dan siangpun boleh masuk.

MASA KEJAYAAN MAJAPAHIT
Kerajaan Majapahit mencapai masa keemasan ketika dipimpin oleh Hayam Wuruk dengan patihnya Gajah Mada yang terkenal dengan Sumpah Palapa. Majapahit menaklukkan hampir seluruh Nusantara dan melebarkan sayapnya hingga ke seluruh Asia Tenggara. Pada masa ini daerah Malang tidak lagi menjadi pusat kekuasaan karena diduga telah pindah ke daerah Nganjuk. Menurut para ahli di Malang ditempatkan seorang penguasa yang disebut Raja pula.
Dalam Negara Kertagama dikisahkan Hayam Wuruk sebagai Raja Majapahit melakukan ziarah ke makam leluhurnya (yang berada disekitar daerah Malang), salah satunya di dekat makam Ken Arok. Ini menunjukkan bahwa walaupun bukan pusat pemerintahan namun Malang adalah kawasan yang disucikan karena merupakan tanah makam para leluhur yang dipuja sebagai Dewa. Beberapa prasasti dan arca peninggalan Majapahit dikawasan puncak Gunung Semeru dan juga di Gunung Arjuna menunjukkan bahwa kawasan Gunung tersebut adalah tempat bersemayam para Dewa dan hanya keturunan Raja yang boleh menginjakkan kaki di wilayah tersebut. Bisa disimpulkan bahwa berbagai peninggalan tersebut merupakan rangkaian yang saling berhubungan walaupun terpisah oleh masa yang berbeda sepanjang 7 abad.

Keruntuhan Majapahit
Tersebutlah kisah, Adipati Terung meminta Sultan Bintara alias Raden Patah yang masih “kapernah” kakaknya, untuk menghadap Prabu Brawijaya. Tapi Sultan Demak itu tidak mau karena ayahnya dianggap masih kafir.Brawijaya adalah raja Majapahit, kerajaan Hindu yang pernah jaya ditanah Jawa. Bahkan kemudian Raden Patah lalu mengumpulkan para bupati pesisir seperti Tuban, Madura dan Surabaya serta para Sunan untuk bersama-sama menyerbu Majapahit yang kafir itu.
Prajurit Islam dikerahkan mengepung ibu kota kerajaan, karena segan berperang dengan puteranya sendiri, Prabu Brawijaya meloloskan diri dari istana bersama pengikut yang masih setia. Sehingga ketika Raden Patah dan rombongannya (termasuk para Sunan) tiba, istana itu kosong. Atas nasihat Sunan Ampel, untuk menawarkan segala pengaruh raja kafir, diangkatlah Sunan Gresik jadi raja Majapahit selama 40 hari. Sesudah itu baru diserahkan kepada Sultan Bintara untuk diboyong ke Demak.
Cerita ini masih dibumbui lagi, yaitu setelah Majapahit jatuh, Adipati Terung ditugasi mengusung paseban raja Majapahit ke Demak untuk kemudian dijadikan serambi masjid. Adipati Bintara itu kemudian bergelar “Senapati Jinbun Ngabdurrahman Panembahan Palembang Sayidina Panatagama”.
Cerita mengenai serbuan tentara Majapahit itu dapat ditemui dalam “BABAD TANAH JAWI”. Tapi cerita senada juga terdapat dalam “Serat Kanda”. Disebutkan, Adipati Bintara bersama pengikutnya memberontak pada Prabu Brawijaya. Bala tentara Majapahit dipimpin oleh Mahapatih Gajah Mada, Adipati Terung dan Andayaningrat (Bupati Pengging). Karena takut kepada Syekh Lemah Abang, gurunya, Kebo Kenanga (Putra Bupati Pengging) membelot ikut musuh. Sementara itu Kebo Kanigara saudaranya tetap setia kepada Sang Prabu Brawijaya.
Tentara Demak dibawah pimpinan Raden Imam diperlengkapi dengan senjata sakti “Keris Makripat” pemberian Sunan Giri yang bisa mengeluarkan hama kumbang dan “Badhong” anugerah Sunan Cirebon yang bisa mendatangkan angin ribut. Tentara Majapahit berhasil dipukul mundur sampai keibukota, cuma rumah adipati Terung yang selamat karena ia memeluk Islam.
Karena terdesak, Prabu Brawijaya mengungsi ke (Tanjung) sengguruh beserta keluarganya diiringi Patih gajah Mada. Itu terjadi tahun 1399 Saka atau 1477 Masehi. Setelah dinobatkan menjadi Sultan Demak bergelar “Panembahan Jinbun”, adipati Bintara mengutus Lembu Peteng dan jaran panoleh ke sengguruh meminta sang Prabu masuk agama Islam. tapi beliau tetap menolak. Akhirnya Sengguruh diserbu dan Prabu Brawijaya lari kepulau Bali.
Cerita versi BABAD TANAH JAWI dan SERAT KANDA itulah yang selama ini populer dikalangan masyarakat Jawa, bahkan pernah juga diajarkan disebagian sekolah dasar dimasa lalu. Secara garis besar, cerita itu boleh dibilang menunjukkan kemenangan Islam. Padahal sebenarnya sebaliknya, bisa memberi kesan yang merugikan, sebab seakan-akan Islam berkembang di Jawa dengan kekerasan dan darah. Padahal kenyataannya tidak begitu.
Selain fakta lain banyak menungkap bahwa masuknya Islam dan berkembang ditanah Jawa dengan jalan damai. Juga fakta keruntuhan Majapahit juga menunjukkan bukan disebabkan serbuan tentara Islam demak.
Prof. Dr. Slamet Muljana dalam bukunya “Pemugaran Persada Sejarah Leluhur Majapahit” secara panjang lebar membantah isi cerita itu berdasarkan bukti-bukti sejarah. Dikatakan Babad Tanah Jawi dan Serat Kanda yang ditulis abad XVII dijaman Mataram itu tanpa konsultasi sumber sejarah yang dapat dipercaya. Sumber sejarah itu antara lain beberapa prasasti dan karya sejarah tentang Majapahit, seperti “Negara Kertagama dan Pararaton”. Karena itu tidak mengherankan jika uraiannya tentang Majapahit banyak yang cacat.
“Prasasti Petak” dan “Trailokyapuri” menerangkan, raja Majapahit terakhir adalah Dyah Suraprahawa, runtuh akibat serangan tentara keling pimpinan Girindrawardhana pada tahun 1478 masehi, sesuai Pararaton. Sejak itu Majapahit telah berhenti sebagai ibu kota kerajaan. Dengan demikian tak mungkin Majapahit runtuh karena serbuan Demak. Sumber sejarah Portugis tulisan Tome Pires juga menyebutkan bahwa Kerajaan Demak sudah berdiri dijaman pemerintahan Girindrawardhana di Keling.
Saat itu Tuban, Gresik, Surabaya dan Madura serta beberapa kota lain dipesisir utara Jawa berada dalam wilayah kerajaan Kediri, sehingga tidak mungkin seperti diceritakan dalam Babad Jawa, Raden Patah mengumpulkan para bupati itu untuk menggempur Majapahit.
Penggubah Babad Tanah Jawi tampaknya mencampur adukkan antara pembentukan kerajaan Demak pada tahun 1478 dengan runtuhnya Kediri oleh serbuan Demak dijaman pemerintahan Sultan Trenggano 1527. Penyerbuan Sultan Trenggano ini dilakukan karena Kediri mengadakan hubungan dengan Portugis di Malaka seperti yang dilaporkan Tome Pires. Demak yang memang memusuhi Portugis hingga menggempurnya ke Malaka tidak rela Kediri menjalin hubungan dengan bangsa penjajah itu.
Setelah Kediri jatuh (Bukan Majapahit !) diserang Demak, bukan lari kepulau Bali seperti disebutkan dalam uraian Serat Kanda, melainkan ke Panarukan, Situbondo setelah dari Sengguruh, Malang. Bisa saja sebagian lari ke Bali sehingga sampai sekarang penduduk Bali berkebudayaaan Hindu, tetapi itu bukan pelarian raja terakhir Majapahit seperti disebutkan Babad itu. Lebih jelasnya lagi raden Patah bukanlah putra Raja Majapahit terakhir seperti disebutkan dalam Buku Babad dan Serat Kanda itu, demikian Dr. Slamet Muljana.
Sejarawan Mr. Moh. Yamin dalam bukunya “Gajah Mada” juga menyebutkan bahwa runtuhnya Brawijaya V raja Majapahit terakhir, akibat serangan Ranawijaya dari kerajaan Keling, jadi bukan serangan dari Demak. Uraian tentang keterlibatan Mahapatih Gajah Mada memimpin pasukan Majapahit ketika diserang Demak 1478 itu sudah bertentangan dengan sejarah.
Soalnya Gajah Mada sudah meninggal tahun 1364 Masehi atau 1286 Saka.
Penuturan buku “Dari Panggung Sejarah” terjemahan IP Simanjuntak yang bersumber dari tulisan H.J. Van Den Berg ternyata juga runtuhnya Majapahit bukan akibat serangan Demak atau tentara Islam. Ma Huan, penulis Tionghoa Muslim, dalam bukunya “Ying Yai Sheng Lan” menyebutkan, ketika mendatangi Majapahit tahun 1413 Masehi sudah menyebutkan masyarakat Islam yang bermukim di Majapahit berasal dari Gujarat dan Malaka. Disebutkannya, tahun 1400 Masehi saudagar Islam dari Gujarat dan Parsi sudah bermukim di pantai utara Jawa.
Salah satunya adalah Maulana Malik Ibrahim yang dimakamkan di Pasarean Gapura Wetan Kab. Gresik dengan angka tahun 12 Rabi’ul Awwal 882 H atau 8 April 1419 Masehi, berarti pada jaman pemerintahan Wikramawardhana (1389-1429) yaitu Raja Majapahit IV setelah Hayam Wuruk. Batu nisan yang berpahat kaligrafi Arab itu menurut Tjokrosujono (Mantan kepala Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala, Mojokerto), nisan itu asli bukan buatan baru.
Salah satu bukti bahwa sejak jaman Majapahit sudah ada pemukiman Muslim diibu kota, adalah situs Kuna Makam Troloyo, Kecamatan Trowulan, Mojokerto, JATIM. Makam-makam Islam disitus Troloyo Desa Sentonorejo itu beragam angka tahunnya, mulai dari tahun 1369 (abad XIV Masehi) hingga tahun 1611 (abad XVII Masehi).
Nisan-nisan makam petilasan di Troloyo ini penuh tulisan Arab hingga mirip prasati. Lafalnya diambil dari bacaan Doa, kalimah Thayibah dan petikan ayat-ayat AlQuran dengan bentuk huruf sedikit kaku. Tampaknya pembuatnya seorang mualaf dalam Islam. Isinya pun bukan bersifat data kelahiran dan kematian tokoh yang dimakamkan, melainkan lebih banyak bersifat dakwah antara lain kutipan Surat Ar-Rahman ayat 26-27.
P.J. Veth adalah sarjana Belanda yang pertama kali meneliti dan menulis makam Troloyo dalam buku JAVA II tahun 1873.
L.C. Damais peneliti dari Prancis yang mengikutinya menyebutkan angka tahun pada nisan mulai abad XIV hingga XVI. Soeyono Wisnoewhardono, Staf Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala di Trowulan mengatakan, nisan-nisan itu membuktikan ketika kerajaan Majapahit masih berdiri, orang-orang Islam sudah bermukim secara damai disekitar ibu kota.
Tampak jelas disini agama Islam masuk kebumi Majapahit penuh kedamaian dan toleransi.
Satu situs kepurbakalaan lagi dikecamatan trowulan yakni diDesa dan kecamatan Trowulan adalah Makam Putri Cempa. Menurut Babad Tanah jawi, Putri Cempa (Jeumpa, bahasa Aceh) adalah istri Prabu Brawijaya yang beragama Islam. Dua nisan yang ditemukan dikompleks kekunaan ini berangka tahun 1370 Saka (1448 Masehi) dan 1313 Saka (1391 Masehi).
Dalam legenda rakyat disebutkan dengan memperistri Putri Cempa itu, sang Prabu sebenarnya sudah memeluk agama Islam. Ketika wafat ia dimakamkan secara Islam dimakam panjang (Kubur Dawa). Dusun Unggah-unggahan jarak 300 meter dari makam Putri Cempa bangsawan Islam itu.
Dari fakta dan situs sejarah itu, tampak bukti otentik tentang betapa tidak benarnya bahwa Islam dikembangkan dengan peperangan. Justru beberapa situs kesejarahan lain membuktikan Islam sangat toleran terhadap agama lain (termasuk Hindu) saat Islam sudah berkembang pesat ditanah Jawa.
Dikompleks Sunan Bonang di Tuban, Jawa Timur misalnya, berdiri tegak Candi Siwa Budha dengan angka tahun 1400 Saka (1478 masehi) yang kini letaknya berada dibelakang kantor Pemda tuban. Padahal, saat itu sudah berdiri pondok pesantren asuhan Sunan Bonang. Pondok pesantren dan candi yang berdekatan letaknya ini dilestarikan dalam sebuah maket kecil dari kayu tua yang kini tersimpan di Museum Kambang Putih, Tuban.
Di Kudus, Jawa Tengah, ketika Sunan Kudus Ja’far Sodiq menyebarkan ajaran Islam disana, ia melarang umat Islam menyembelih sapi untuk dimakan. Walau daging sapi halal menurut Islam tetapi dilarang menyembelihnya untuk menghormati kepercayaan umat Hindu yang memuliakan sapi.
Untuk menunjukkan rasa toleransinya kepada umat Hindu, Sunan Kudus menambatkan sapi dihalaman masjid yang tempatnya masih dilestarikan sampai sekarang. Bahkan menara Masjid Kudus dibangun dengan gaya arsitektur candi Hindu.
ketika kerajaan Majapahit berdiri sebagai bagian dari perjalanan bangsa Indonesia. Sejak didirikan Raden Wijaya yang bergelar Kertanegara Dharmawangsa, kerajaan ini senantiasa diliputi fenomena pemberontakan.
Pewaris tahta Raden Wijaya, yakni masa pemerintahan Kalagemet/Jayanegara (1309-1328), yang dalam sebuah prasasti dianggap sebagai titisan Wisnu dengan Lencana negara Minadwaya (dua ekor ikan) dalam memerintah banyak menghadapi pemberontakan-pemberontakan terhadap Majapahit dari mereka yang masih setia kepada Kertarajasa.
Pemberontakan pertama sebetulnya sudah dimulai sejak Kertarajasa masih hidup, yaitu oleh Rangga Lawe yang berkedudukan di Tuban, akibat tidak puas karena bukan dia yang menjadi patih Majapahit tetapi Nambi, anak Wiraraja. Tetapi usahanya (1309) dapat digagalkan.
Pemberontakan kedua di tahun 1311 oleh Sora, seorang rakryan di Majapahit, tapi gagal. Lalu yang ketiga dalam tahun 1316, oleh patihnya sendiri yaitu Nambi, dari daerah Lumajang dan benteng di Pajarakan. Ia pun sekeluarga ditumpas.
Pemberontakan selanjutnya oleh Kuti di tahun 1319, dimana Ibukota Majapahit sempat diduduki, sang raja melarikan diri dibawah lindungan penjaga-penjaga istana yang disebut Bhayangkari sebanyak 15 orang dibawah pimpinan Gajah Mada.
Namun dengan bantuan pasukan-pasukan Majapahit yang masih setia, Gajah Mada dengan Bhayangkarinya menggempur Kuti, dan akhirnya Jayanegara dapat melanjutkan pemerintahannya.
Berhenti pemberontakan Kuti, tahun 1331 muncul pemberontakan di Sadeng dan Keta (daerah Besuki). Maka patih Majapahit Pu Naga digantikan patih Daha yaitu Gajah Mada, sehingga pemberontakan dapat ditumpas. Keberhasilan Gajah Mada memadamkan pemberontakan Sadeng membawanya meraih karier diangkat sebagai mahapatih kerajaan.
Namun pada masa pemerintahan Hayam Wuruk pada tahun 1350-1389, berkali-kali sang patih Gajah Mada –yang juga panglima ahli perang di masa itu– harus menguras energi untuk memadamkan pemberontakan di beberapa daerah. Pemberontakan Ronggolawe sampai serangan kerajaan Dhaha, Kediri.
Bahkan salah satu penyebab kemunduran dan hancurnya kerajaan Majapahit adalah ketika meletusnya Perang Paragreg tahun 1401-1406 merupakan perang saudara memperebutkan kekuasaan, daerah bawahan mulai melepaskan diri dan berkembangnya Islam di daerah pesisir
Kerajaan Majapahit yang pernah mengalami masa keemasan dan kejayaan harus runtuh terpecah-pecah setelah kehilangan tokoh besar seperti Hayam Wuruk dan Gajah Mada.

KERAJAAN MATARAM

Kerajaan Mataram Kuno
Istilah Wangsa Sanjaya Diperkenalkan Oleh Seorang Sejarawan Bernama Dr. Bosch Dalam Karangannya Yang Berjudul Sriwijaya, De Syailendrawamsa En De Sanjayawamsa (1952). Dr. Bosch Menyebutkan Bahwa, Di Kerajaan Medang Terdapat Dua Dinasti Yang Berkuasa, Yaitu Dinasti Sanjaya Dan Dinasti Syailendra. Istilah Wangsa Sanjaya Merujuk Kepada Nama Pendiri Kerajaan Medang, Yaitu Sanjaya Yang Memerintah Sekitar Tahun 732. Dinasti Ini Diyakini Menganut Agama Hindu Aliran Siwa, Dan Berkiblat Ke Kunjaradari Di Daerah India.

Raja Selanjutnya Setelah Sanjaya Adalah Rakai Panangkaran Yang Dikalahkan Oleh Dinasti Lain Bernama Wangsa Syailendra. Pada Tahun 778 Raja Syailendra Yang Beragama Buddha Aliran Mahayana Memerintahkan Rakai Panangkaran Untuk Mendirikan Candi Kalasan. Sejak Saat Itu Kerajaan Medang Mutlak Dikuasai Oleh Wangsa Syailendra. Sampai Akhirnya Seorang Putri Mahkota Syailendra Yang Bernama Pramodawardhani Menikah Dengan Rakai Pikatan, Seorang Keturunan Sanjaya, Pada Tahun 840. Rakai Pikatan Kemudian Mewarisi Takhta Mertuanya. Dengan Demikian, Wangsa Sanjaya Kembali Memegang Kekuasaan Di Kerajaan Medang.

Namun Ada Juga Teori Yang Menolak Pandangan Pertama Tadi, Sejarawan Poerbatjaraka Menolak Keberadaan Wangsa Sanjaya. Menurutnya, Wangsa Sanjaya Tidak Pernah Ada, Karena Sanjaya Sendiri Adalah Keturunan Wangsa Syailendra. Dinasti Ini Mula-Mula Beragama Hindu, Karena Istilah Syailendra Bermakna Penguasa Gunung Yaitu Sebutan Untuk Dewa Siwa. Selain Itu Menurutnya, Istilah Sanjayawangsa Tidak Pernah Dijumpai Dalam Prasasti Mana Pun, Sedangkan Istilah Syailendrawangsa Ditemukan Dalam Beberapa Prasasti, Misalnya Prasasti Ligor, Prasasti Kalasan, Dan Prasasti Abhayagiriwihara.

Poerbatjaraka Berpendapat Bahwa, Sanjaya Telah Memerintahkan Agar Putranya, Yaitu Rakai Panangkaran Pindah Agama, Dari Hindu Menjadi Buddha. Teori Ini Berdasarkan Atas Kisah Dalam Carita Parahyangan Bahwa Rahyang Sanjaya Menyuruh Rahyang Panaraban Untuk Berpindah Agama. Dengan Demikian, Yang Dimaksud Dengan Istilah Raja Syailendra Dalam Prasasti Kalasan Tidak Lain Adalah Rakai Panangkaran Sendiri.

Carita Parahyangan Memang Ditulis Ratusan Tahun Sesudah Kematian Prabu Sanjaya. Meskipun Demikian, Kisah Di Atas Seolah Terbukti Dengan Ditemukannya Sebuah Prasasti Yang Mengisahkan Tentang Seorang Pangeran Bernama Sankhara Yang Pindah Agama Karena Ayahnya Meninggal Dunia Akibat Menjalani Ritual Terlalu Berat. Sayangnya, Prasasti Ini Tidak Jelas Angka Tahunnya, Serta Tidak Menyebutkan Siapa Nama Ayah Sankhara Tersebut.

Teori Poerbatjaraka Menyebutkan Bahwa Hanya Ada Satu Dinasti Saja Yang Berkuasa Di Kerajaan Medang, Yaitu Wangsa Syailendra Yang Beragama Hindu Siwa. Sejak Pemerintahan Rakai Panangkaran, Dinasti Syailendra Terpecah Menjadi Dua. Agama Buddha Dijadikan Agama Resmi Negara, Sedangkan Cabang Syailendra Lainnya Ada Yang Tetap Menganut Agama Hindu, Misalnya Seseorang Yang Kelak Menurunkan Rakai Pikatan.

Meskipun Istilah Sanjayawangsa Tidak Pernah Dijumpai Dalam Prasasti Mana Pun, Namun Istilah Sanjayawarsa Atau Kalender Sanjaya Ditemukan Dalam Prasasti Taji Gunung Dan Prasasti Timbangan Wungkal. Kedua Prasasti Tersebut Dikeluarkan Oleh Mpu Daksa Dengan Tujuan Untuk Menunjukkan Bahwa Dirinya Adalah Keturunan Asli Sanjaya, Sang Pendiri Kerajaan. Tahun 1 Sanjayawarsa Sama Dengan Tahun 717 Masehi. Tidak Diketahui Dengan Pasti Apakah Tahun 717 Ini Merupakan Tahun Kelahiran Sanjaya, Ataukah Tahun Berdirinya Kerajaan.

Daftar Para Raja Medang Sebelum Dyah Balitung Yang Tertulis Dalam Prasasti Mantyasih Menurut Teori Bosch Adalah Daftar Para Raja Wangsa Sanjaya, Sekaligus Juga Silsilah Keluarga Mulai Dari Sanjaya Sampai Balitung.
Para Raja Tersebut Ialah:
* Sanjaya
* Rakai Panangkaran
* Rakai Panunggalan
* Rakai Warak
* Rakai Garung
* Rakai Pikatan
* Rakai Kayuwangi
* Rakai Watuhumalang

Sedangkan Sejarawan Slamet Muljana Mengemukakan Pendapat Yang Lain Lagi. Menurutnya, Daftar Tersebut Bukan Silsilah Wangsa Sanjaya, Melainkan Daftar Para Raja Yang Pernah Berkuasa Di Kerajaan Medang. Pendapatnya Itu Berdasarkan Atas Julukan Rakai Panangkaran Dalam Prasasti Kalasan, Yaitu Syailendrawangsatilaka Atau Permata Wangsa Syailendra. Jadi Menurutnya Tidak Mungkin Apabila Rakai Panangkaran Adalah Putra Sanjaya. Analisa Slamet Muljana Terhadap Beberapa Prasasti, Misalnya Prasasti Kelurak, Prasasti Nalanda, Ataupun Prasasti Kayumwungan Menyimpulkan Bahwa Rakai Panangkaran, Rakai Panunggalan, Rakai Warak, Dan Rakai Garung Adalah Anggota Wangsa Syailendra, Sementara Sisanya Adalah Anggota Wangsa Sanjaya, Kecuali Rakai Kayuwangi Yang Berdarah Campuran.

Raja Sesudah Dyah Balitung Adalah Mpu Daksa Yang Memperkenalkan Pemakaian Kalender Sanjaya Untuk Menunjukkan Bahwa Dirinya Adalah Keturunan Asli Sang Pendiri Kerajaan. Selain Itu, Kemungkinan Besar Daksa Juga Merupakan Cucu Rakai Pikatan Sebagaimana Yang Tertulis Dalam Prasasti Telahap. Daksa Digantikan Oleh Menantunya, Bernama Dyah Tulodhong, Yaitu Putra Dari Seseorang Yang Dimakamkan Di Turu Mangambil. Tidak Diketahui Dengan Pasti Apakah Tulodhong Ini Merupakan Keturunan Sanjaya Atau Bukan. Menurut Sejarawan Boechari, Pemerintahan Tulodhong Berakhir Akibat Pemberontakan Dyah Wawa, Putra Rakryan Landhayan. Dalam Hal Ini Juga Tidak Dapat Dipastikan Apakah Wawa Keturunan Sanjaya Atau Bukan.

Raja Selanjutnya Bernama Mpu Sendok Yang Diperkirakan Sebagai Cucu Mpu Daksa. Jika Benar Demikian, Maka Mpu Sindok Dapat Disebut Sebagai Keturunan Sanjaya Pula, Meskipun Ia Dianggap Telah Mendirikan Dinasti Baru Bernama Wangsa Isyana. Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya Adalah Raja Pertama Kerajaan Medang Periode Jawa Tengah (Atau Lazim Disebut Kerajaan Mataram Kuno), Yang Memerintah Sekitar Tahun 730. Ratu Sanjaya Alias Rakai Mataram Menempati Urutan Pertama Dalam Daftar Para Raja Kerajaan Medang Versi Prasasti Mantyasih, Yaitu Prasasti Yang Dikeluarkan Oleh Maharaja Dyah Balitung Tahun 907. Sanjaya Sendiri Mengeluarkan Prasasti Canggal Tanggal 6 Oktober 732 Tentang Pendirian Sebuah Lingga Serta Bangunan Candi Untuk Memuja Siwa Di Atas Sebuah Bukit. Candi Tersebut Kini Hanya Tinggal Puing-Puing Reruntuhannya Saja, Yang Terletak Di Atas Gunung Wukir, Dekat Kedu.

Prasasti Canggal Juga Mengisahkan Bahwa, Sebelum Sanjaya Bertakhta Sudah Ada Raja Lain Bernama Sanna Yang Memerintah Pulau Jawa Dengan Adil Dan Bijaksana. Sepeninggal Sanna Keadaan Menjadi Kacau. Sanjaya Putra Sannaha (Saudara Perempuan Sanna) Kemudian Tampil Sebagai Raja. Pulau Jawa Pun Tentram Kembali. Prasasti Canggal Tidak Menyebutkan Nama Kerajaan Yang Dipimpin Oleh Sanna Dan Sanjaya. Sementara Itu Prasasti Mantyasih Menyebut Sanjaya Sebagai Raja Pertama Kerajaan Medang, Sedangkan Sanna Sama Sekali Tidak Disebut. Mungkin Sanna Memang Bukan Raja Kerajaan Medang. Dengan Kata Lain, Sanjaya Mewarisi Takhtanya Namun Mendirikan Sebuah Kerajaan Baru Yang Berbeda. Kisah Yang Serupa Terjadi Pada Akhir Abad Ke-13, Yaitu Raden Wijaya Raja Pertama Majapahit Adalah Pewaris Takhta Kertanagara Raja Terakhir Singhasari.

Pada Zaman Kerajaan Medang Terdapat Suatu Tradisi Mencantumkan Jabatan Lama Di Samping Gelar Sebagai Maharaja. Misalnya, Raja Yang Mengeluarkan Prasasti Mantyasih (907) Adalah Sri Maharaja Rakai Watukura Dyah Balitung Dharmodaya Mahasambu. Itu Artinya, Jabatan Lama Dyah Balitung Sebelum Menjadi Raja Kerajaan Medang Adalah Kepala Daerah Watukura. Sementara Itu Gelar Sanjaya Sebagai Raja Adalah Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya. Mungkin Ketika Sanna Masih Berkuasa, Sanjaya Menjabat Sebagai Kepala Daerah Mataram (Daerah Yogyakarta Sekarang). Kemudian, Karena Sanjaya Dianggap Mendirikan Kerajaan Baru Bernama Medang, Maka Istananya Mungkin Terletak Di Daerah Kekuasaannya, Yaitu Mataram Sebagai Ibu Kota. Adapun Pada Masa Pemerintahan Dyah Balitung, Ibu Kota Kerajaan Medang Sudah Berpindah Ke Poh Pitu.

Apabila Sanjaya Naik Takhta Tahun 717, Berarti Saat Prasasti Canggal (732) Dikeluarkan, Kerajaan Medang Sudah Berusia 15 Tahun. Sementara Itu Apabila 717 Adalah Tahun Kelahiran Sanjaya, Berarti Saat Mengeluarkan Prasasti Canggal Ia Masih Berusia 15 Tahun Dan Sudah Menjadi Raja. Dengan Kata Lain, Sanna Mengangkat Sanjaya Sebagai Kepala Daerah Mataram Sejak Masih Anak-Anak (Sama Seperti Jayanagara Pada Zaman Majapahit).

Naskah Carita Parahyangan Ditulis Sekitar Abad Ke-16, Jadi Berselang Ratusan Tahun Sejak Kematian Sanjaya. Dikisahkan, Nama Asli Sanjaya Adalah Rakeyan Jambri, Sedangkan Sanna Disebut Dengan Nama Bratasenawa, Atau Disingkat Sena. Sena Adalah Raja Kerajaan Galuh Yang Berhasil Dikalahkan Oleh Saudara Tirinya, Bernama Purbasora. Putra Sena, Yaitu Rahyang Sanjaya Alias Rakeyan Jambri Telah Menjadi Menantu Tarusbawa Raja Kerajaan Sunda. Dengan Bantuan Mertuanya Itu, Sanjaya Berhasil Mengalahkan Purbasora Tujuh Tahun Kemudian. Sanjaya Kemudian Menyerahkan Takhta Kerajaan Galuh Kepada Demunawan, Adik Purbasora. Hal Ini Ditolak Oleh Rahyang Sempakwaja, Ayah Purbasora Karena Takut Kelak Demunawan Akan Ditumpas Pula Oleh Sanjaya. Sanjaya Terpaksa Menduduki Sendiri Takhta Kerajaan Tersebut.

Karena Sanjaya Juga Bertakhta Di Kerajaan Sunda, Maka Pemerintahannya Di Galuh Diserahkan Kepada Premana Dikusumah, Cucu Purbasora. Sedangkan Putra Sanjaya Yang Bernama Rahyang Tamperan Dijadikan Sebagai Patih Untuk Mengawasi Pemerintahan Premana.Karena Merasa Tertekan, Premana Akhirnya Memilih Pergi Bertapa. Istrinya Yang Bernama Pangreyep, Seorang Putri Sunda, Berselingkuh Dengan Tamperan Sehingga Melahirkan Rahyang Banga. Tamperan Kemudian Mengirim Utusan Untuk Membunuh Premana. Setelah Sanjaya Menjadi Raja Di Mataram, Wilayah Sunda Dan Galuh Pun Dijadikan Satu Di Bawah Pemerintahan Tamperan. Kemudian Terjadi Pemberontakan Manarah Putra Premana Yang Berhasil Menewaskan Tamperan. Sedangkan Putranya, Yaitu Banga Lolos Dari Kematian.

Mendengar Berita Kematian Putranya, Sanjaya Pun Menyerang Manarah. Perang Besar Terjadi Akhirya Didamaikan Oleh Demunawan (Adik Purbasora). Akhirnya Dicapai Sebuah Kesepakatan, Yaitu Banga Sebagai Raja Sunda, Sedangkan Manarah Sebagai Raja Galuh. Carita Parahyangan Terlalu Berlebihan Dalam Memuji Kekuatan Sanjaya Yang Diberitakan Selalu Menang Dalam Setiap Peperangan. Konon, Sanjaya Bahkan Berhasil Menaklukkan Melayu, Kamboja, Dan Cina. Padahal Sebenarnya, Penaklukan Sumatra Dan Kamboja Baru Terjadi Pada Pemerintahan Dharanindra, Raja Ketiga Kerajaan Medang.

Sanjaya Di Jawa Barat Juga Dikenal Dengan Sebutan Prabu Harisdarma. Ia Meninggal Dunia Karena Jatuh Sakit Akibat Terlalu Patuh Dalam Menjalankan Perintah Guru Agamanya. Dikisahkan Pula Bahwa Putranya Yang Bernama Rahyang Panaraban Diperintah Untuk Pindah Ke Agama Lain, Karena Agama Sanjaya Dinilai Terlalu Menakutkan. Menurut Prasasti Mantyasih, Sanjaya Digantikan Oleh Maharaja Rakai Panangkaran Sebagai Raja Berikutnya. Raja Kedua Ini Mendirikan Sebuah Bangunan Buddha, Yaitu Candi Kalasan Atas Permohonan Para Guru Raja Syailendra Pada Tahun 778. Berdasarkan Berita Tersebut, Muncul Beberapa Teori Tentang Hubungan Sanjaya Dengan Rakai Panangkaran.

Teori Pertama Dipelopori Oleh Van Naerssen Menyebutkan Bahwa, Rakai Panangkaran Adalah Putra Sanjaya Yang Beragama Hindu. Ia Dikalahkan Oleh Wangsa Syailendra Yang Beragama Buddha. Jadi, Pembangunan Candi Kalasan Ialah Atas Perintah Raja Syailendra Terhadap Rakai Panangkaran Yang Menjadi Bawahannya. Teori Kedua Dipelopori Oleh Porbatjaraka Yang Menyebutkan Bahwa, Rakai Panangkaran Adalah Putra Sanjaya, Dan Keduanya Merupakan Anggota Wangsa Syailendra. Dengan Kata Lain, Wangsa Sanjaya Tidak Pernah Ada Karena Tidak Pernah Tertulis Dalam Prasasti Apa Pun. Menurut Teori Ini, Rakai Panangkaran Pindah Agama Atas Perintah Sanjaya Sebelum Meninggal. Tokoh Ini Dianggap Identik Dengan Rahyang Panaraban Dalam Carita Parahyangan. Jadi, Yang Dimaksud Dengan Istilah Para Guru Raja Syailendra Dalam Prasasti Kalasan Tidak Lain Adalah Para Guru Rakai Panangkaran Sendiri.

Teori Ketiga Dipelopori Oleh Slamet Muljana Bertentangan Dengan Kedua Teori Di Atas. Menurutnya, Rakai Panangkaran Bukan Putra Sanjaya, Melainkan Anggota Wangsa Syailendra Yang Berhasil Merebut Takhta Kerajaan Medang Dan Mengalahkan Wangsa Sanjaya. Teori Ini Didasarkan Pada Daftar Para Raja Dalam Prasasti Mantyasih Di Mana Hanya Sanjaya Yang Bergelar Sang Ratu, Sedangkan Penggantinya Tiba-Tiba Begelar Maharaja. Selain Itu, Rakai Panangkaran Tidak Mungkin Berstatus Sebagai Raja Bawahan, Karena Ia Dipuji Sebagai Syailendrawangsatilaka Dalam Prasasti Kalasan.

Sri Maharaja Rakai Panangkaran Dyah Pancapana Adalah Raja Kedua Kerajaan Medang Periode Jawa Tengah (Atau Yang Lazim Disebut Kerajaan Mataram Kuno). Ia Memerintah Sekitar Tahun 770-An. Maharaja Rakai Panangkaran Adalah Raja Kedua Dalam Daftar Raja-Raja Kerajaan Medang Versi Prasasti Mantyasih, Yang Naik Takhta Menggantikan Sanjaya. Prasasti Atas Nama Rakai Panangkaran Yang Sudah Ditemukan Adalah Prasasti Kalasan Tahun 778 Tentang Pembangunan Sebuah Candi Buddha Untuk Memuja Dewi Tara. Pembangunan Ini Atas Permohonan Para Guru Raja Syailendra. Dalam Prasasti Itu Ia Dipuji Sebagai Syailendrawangsatilaka Atau Permata Wangsa Syailendra. Candi Peninggalan Rakai Panangkaran Tersebut Sekarang Dikenal Dengan Sebutan Candi Kalasan.

KERAJAAN KEDIRI


Sejarah Kerajaan Kadiri

A.Sejarah Berdirinya Kerajaan Kadiri


Kerajaan Kadiri atau Kerajaan Panjalu, adalah kerajaan yang terletak di Jawa Timur antara tahun 1042-1222. Kerajaan ini berpusat di kota Daha, yang terletak di sekitar Kota Kediri sekarang. Pada tahun 1042, Raja Airlangga memerintahkan membagi kerajaan menjadi dua bagian. Pembagian kerajaan tersebut dilakukan oleh seorang Brahmana yang terkenal akan kesaktiannya yaitu Mpu Bharada. Kedua kerajaan tersebut dikenal dengan sebutan Jenggala dan Panjalu, yang dibatasi oleh gunung Kawi dan sungai Brantas. Tujuan pembagian kerajaan menjadi dua agar tidak terjadi pertikaian diantara kedua putranya.
Wilayah Kerajaan Jenggala meliputi daerah Malang dan delta sungai Brantas dengan pelabuhannya Surabaya, Rembang, dan Pasuruhan, ibu kotanya Kahuripan dan Raja pertama yang memerintah adalah Mapanji Garasakan, sedangkan Panjalu kemudian dikenal dengan nama Kediri meliputi Kediri, Madiun, dan ibu kotanya Daha. Dan raja pertama yang memerintah adalah Sri Samarawijaya. Berdasarkan prasasti-prasasti yang ditemukan masing-masing Raja yang memerintah diantara kedua kerajaan saling merasa berhak atas seluruh tahta Airlangga sehingga terjadilah perang saudara. Pada awalnya perang saudara tersebut, dimenangkan oleh Jenggala tetapi pada perkembangan selanjutnya Panjalu/Kediri yang memenangkan peperangan dan menguasai seluruh tahta Airlangga. Dengan demikian di Jawa Timur berdirilah kerajaan Kediri dimana bukti-bukti yang menjelaskan kerajaan tersebut, selain ditemukannya prasasti-prasasti juga melalui kitab-kitab sastra.

B. Perkembangan Kerajaan Kediri
 
Masa-masa awal Kerajaan Kadiri tidak banyak diketahui. Prasasti Turun Hyang II (1044) yang diterbitkan Kerajaan Janggala hanya memberitakan adanya perang saudara antara kedua kerajaan sepeninggal Airlangga.
Sejarah Kerajaan Panjalu atau Kadiri mulai diketahui dengan adanya prasasti Sirah Keting tahun 1104 atas nama Sri Jayawarsa. Raja-raja sebelum Sri Jayawarsa hanya Sri Samarawijaya yang sudah diketahui, sedangkan urutan raja-raja sesudah Sri Jayawarsa sudah dapat diketahui dengan jelas berdasarkan prasasti-prasasti yang ditemukan.
Kerajaan Panjalu atau di bawah pemerintahan Sri Jayabhaya berhasil menaklukkan Kerajaan Janggala dengan semboyannya yang terkenal dalam prasasti Ngantang (1135), yaitu Panjalu Jayati, atau Panjalu Menang.
Pada masa pemerintahan Sri Jayabhaya inilah, Kerajaan Panjalu mengalami masa kejayaannya. Wilayah kerajaan ini meliputi seluruh Jawa dan beberapa pulau di Nusantara, bahkan sampai mengalahkan pengaruh Kerajaan Sriwijaya di Sumatra.
 
C. Kondisi Ekonomi dan Sosial pada Jaman Kerajaan Kadiri

Perekonomian Kediri bersumber atas usaha perdagangan, peternakan, dan pertanian. Kediri terkenal sebagai penghasil beras, kapas dan ulat sutra. Dengan demikian dipandang dari aspek ekonomi, kerajaan Kediri cukup makmur. Hal ini terlihat dari kemampuan kerajaan memberikan penghasilan tetap kepada para pegawainya dibayar dengan hasil bumi. Keterangan ini diperoleh berdasarkan kitab Chi-Fan-Chi dan kitab Ling-wai-tai-ta.
Kehidupan sosial masyarakat Kediri cukup baik karena kesejahteraan rakyat meningkat masyarakat hidup tenang, hal ini terlihat dari rumah-rumah rakyatnya yang baik, bersih, dan rapi, dan berlantai ubin yang berwarna kuning, dan hijau serta orang-orang Kediri telah memakai kain sampai di bawah lutut. Dengan kehidupan masyarakatnya yang aman dan damai maka seni dapat berkembang antara lain kesusastraan yang paling maju adalah seni sastra. Hal ini terlihat dari banyaknya hasil sastra yang dapat Anda ketahui sampai sekarang.
Hal ini diperkuat kronik Cina berjudul Ling wai tai ta karya Chou Ku-fei tahun 1178, bahwa pada masa itu negeri paling kaya selain Cina secara berurutan adalah Arab, Jawa, dan Sumatra. Saat itu yang berkuasa di Arab adalah Bani Abbasiyah, di Jawa ada Kerajaan Panjalu, sedangkan Sumatra dikuasai Kerajaan Sriwijaya.
Penemuan Situs Tondowongso pada awal tahun 2007, yang diyakini sebagai peninggalan Kerajaan Kadiri diharapkan dapat membantu memberikan lebih banyak informasi tentang kerajaan tersebut. Beberapa arca kuno peninggalan Kerajaan Kediri. Arca yang ditemukan di desa Gayam, Kediri itu tergolong langka karena untuk pertama kalinya ditemukan patung Dewa Syiwa Catur Muka atau bermuka empat.

D. Raja raja yang memerintah Kerajaan Kadiri

• Sri Samarawijaya, merupakan putra Airlangga yang namanya ditemukan dalam prasasti Pamwatan (1042).
• Sri Jayawarsa, berdasarkan prasasti Sirah Keting (1104). Tidak diketahui dengan pasti apakah ia adalah pengganti langsung Sri Samarawijaya atau bukan.
• Sri Bameswara, berdasarkan prasasti Padelegan I (1117), prasasti Panumbangan (1120), dan prasasti Tangkilan (1130).
• Sri Jayabhaya, merupakan raja terbesar Kadiri, berdasarkan prasasti Ngantang (1135), prasasti Talan (1136), dan Kakawin Bharatayuddha (1157).
• Sri Sarweswara, berdasarkan prasasti Padelegan II (1159) dan prasasti Kahyunan (1161).
• Sri Aryeswara, berdasarkan prasasti Angin (1171).
• Sri Gandra, berdasarkan prasasti Jaring (1181).
• Sri Kameswara, berdasarkan prasasti Ceker (1182) dan Kakawin Smaradahana.

Dan raja yang terakhir yaitu Kertajaya, berdasarkan prasasti Galunggung (1194), Prasasti Kamulan (1194), prasasti Palah (1197), prasasti Wates Kulon (1205), Nagarakretagama, dan Pararaton.
Sri Samarawijaya adalah raja pertama Kadiri yang memerintah sejak tahun 1042 Masehi.Gelar lengkapnya adalah Sri Samawawijaya Dharmasuparnawaha Teguh Uttunggadewa.Sri Jayawarsa adalah raja Kadiri yang memerintah sekitar tahun 1104 Masehi.Nama gelar abhisekanya adalah Sri Maharaja Jayawarsa Digjaya Sastraprabhu>tidak di ketahui kapan Sri Jayawarsa naik tahta.Peninggalan sejarahnya yang di temukan adalah Prasasti Sirah Keting tahun 1104 Masehi yang berisi pengesahan Desa Marjaya sebagai tanah perdikan atau sima swantantra

Raja yang terkenal dari kerajaan Kediri antara lain Raja Kameswara (1115 - 1130 M) mempergunakan lancana Candrakapale yaitu tengkorak yang bertaring. Pada masa pemerintahannya banyak dihasilkan karya-karya sastra, bahkan kiasan hidupnya dikenal dalam Cerita Panji.
Raja selanjutnya adalah Jayabaya memerintah tahun 1130 – 1160.Gelar lengkapnya adalah Sri Maharaja Sang Mapanji Jayabhaya Sri Warmeswara Madhusudana Awatarindhita Suhtrisingha Parakrama Uttunggadewa.Pemerintahannya dianggap sebagai masa kejayaan Kadiri,dalam memerintah beliau mempergunakan lancana Narasingha yaitu setengah manusia setengah singa. Pada masa pemerintahannya Kediri mencapai puncak kebesarannya dan juga banyak dihasilkan karya sastra terutama ramalannya tentang Indonesia antara lain akan datangnya Ratu Adil. Peninggalan sejarahnya berupa Prasasti Hantang atau Ngantang tahun 1135 Masehi,prasasti Talan 1136 Masehi,Prasasti Jepun 1144 Masehi dan Kakawin Bharatayuddha 1157 Masehi,Kakawin Bharatayuddha di gubah oleh Mpu Sedah dan di lanjutkan oleh Mpu Panuluh dan selesai di tulis tanggal 6 November 1157 Masehi.
Tahun 1181 pemerintahan raja Sri Gandra terdapat sesuatu yang menarik pada masa, yaitu untuk pertama kalinya didapatkan orang-orang terkemuka mempergunakan nama-nama binatang sebagai namanya yaitu seperti Kebo Salawah, Manjangan Puguh, Macan Putih, Gajah Kuning, dsb. Selanjutnya tahun 1200 - 1222 yang menjadi raja Kediri adalah Kertajaya. Ia memakai lancana Garudamuka seperti Ria Airlangga, sayangnya raja ini kurang bijaksana, sehingga tidak disukai oleh rakyat terutama kaum Brahmana. Hal inilah yang akhirnya menjadi penyebab berakhirnya kerajaan Kediri, karena kaum Brahmana meminta perlindungan kepada Ken Arok di Singosari sehingga tahun 1222 Ken Arok berhasil menghancurkan Kediri

E. Karya Sastra dan Prasasti pada Jaman Kerajaan Kadiri

Prasasti pada Jaman Kerajaan Kadiri diantaranya yaitu:
a. Prasasti Banjaran yang berangka tahun 1052 M menjelaskan kemenangan Panjalu atau Kadiri atas Jenggala
b. Prasasti Hantang tahun 1135 atau 1052 M menjelaskan Panjalu atau Kadiri pada masa Raja Jayabaya.Pada prasasti ini terdapat semboyan Panjalu Jayati yang artinya Kadiri Menang.Prasasti ini di keluarkan sebagai piagam pengesahan anugerah untuk penduduk Desa Ngantang yang setia pada Kadiri selama perang dengan Jenggala.Dan dari Prasasti tersebut dapat di ketahui kalau Raja Jayabhaya adalah raja yang berhasil mengalahkan Janggala dan mempersatukannya kembali dengan Kadiri.
c. Prasasti Jepun 1144 M
d. Prasasti Talan 1136 M
Seni sastra juga mendapat banyak perhatian pada zaman Kerajaan Kadiri. Pada tahun 1157 Kakawin Bharatayuddha ditulis oleh Mpu Sedah dan diselesaikan Mpu Panuluh. Kitab ini bersumber dari Mahabharata yang berisi kemenangan Pandawa atas Korawa, sebagai kiasan,kemenangan.
Mpu Panuluh juga menulis Kakawin Hariwangsa dan Ghatotkachasraya Terdapat pula pujangga zaman pemerintahan Sri Kameswara bernama Mpu Dharmaja yang menulis Kakawin Smaradahana. Kitab Lubdaka dan Wertasancaya karya Mpu Tan Akung.Kitab Kresnayana karya Mpu Triguna dan kitab Sumanasantaka.karya Mpu Monaguna.
Di samping kitab sastra maupun prasasti tersebut di atas, juga ditemukan berita Cina yang banyak memberikan gambaran tentang kehidupan masyarakat dan pemerintahan Kediri yang tidak ditemukan dari sumber yang lain. Berita Cina tersebut disusun melalui kitab yang berjudul Ling-mai-tai-ta yang ditulis oleh Cho-ku-Fei tahun 1178 M dan kitab Chu-Fan-Chi yang ditulis oleh Chau-Ju-Kua tahun 1225 M. Dengan demikian melalui prasasti, kitab sastra maupun kitab yang ditulis orang-orang Cina tersebut perkembangan Kediri.

F. Runtuhnya Kerajaan Kadiri

Kerajaan Kadiri runtuh pada masa pemerintahan Raja Kertajaya, dan dikisahkan dalam Pararaton dan Nagarakretagama.Pada tahun 1222 Raja Kertajaya sedang berselisih melawan kaum brahmana yang kemudian meminta perlindungan Ken Arok akuwu Tumapel.Ken Arok menjadi akuwu Tumapel setelah membunuh Tunggul Ametung,akuwu Tumapel Sebelumnya dan kebetulan Ken Arok juga bercita-cita memerdekakan Tumapel yang merupakan daerah bawahan Kadiri.
Perang antara Kadiri dan Tumapel terjadi dekat desa Ganter. Pasukan Ken Arok berhasil menghancurkan pasukan Kertajaya. Dengan demikian berakhirlah masa Kerajaan Kadiri, yang sejak saat itu Ken Arok kemudian mendirikan kerajaan Singhasari dan Kadiri menjadi bawahan Tumapel atau Singhasari.

Sejarah Nasional Indonesia

SUMBER - SUMBER PRASEJARAH

  • Pengertian Sejarah
 Sejarah dari bahasa arab, Syajarotun artinya Pohon. Sebagaimana pohon, sejarah terus berkembang dari tingkat yang sederhana sampai tingkat yang lebih maju atau kompleks.
Dalam bahasa Inggris, kata sejarah (History) berarti masa lampau umat manusia, dari bahasa Yunani historia artinya orang pandai. 

sejarah adalah suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari segala peristiwa atau kejadian yang terjadi pada masa lampau dalam kehidupan umat manusia. 
tiga unsur penting sejarah 
1. semua kejadian masa lalu 
2. metode atau cara kerja yang di gunakan oleh sejarawan untuk merekontruksi masa lalu
3. pernyataan paara sejarawan dalam bentuk lisan dan tulisan

zaman pra-sejarah
- pra-sejarah adalah pengetahuan yang mempelajari kemajuan manusia dan peradabannya sebelum ada sejarah tercatat (zaman nirleka)
- sebelum ada sumber-sumber tertulis
- zaman pra-sejarah mulai dengan terjadinya manusia dan berakhir dengan adanya tulisan 
- pada setiap bangsa zaman prasejarah tidak sama berakhirnya karena catatan-catatan mengenai tiap-tiap bangsa bahwa waktunya tidak sama
- pra sejarah indonesia berakhir dengan kedatangan orang hindu yaitu pada permulaan abad masehi, sebab orang hindulah yang membawa tulisan-tulisan ke indonesia 

sumber-sumber pra sejarah
a. fosil 
peninggalan manusia pra sejarah yang tersimpan di dalam tanah berupa posil-posil yang terdiri dari sisa-sisa tubuh manusia, umumnya tulang-tulang dan gigi
b. artefak
benda-benda yang dibuat manusia. peninggalan tersebut untuk mengetaui tentang kebudayaan jasmani dari manusia pada zaman nirleka.
c. ethnologi 
kebudayaan yang belum terpengaruhi, contohnya mentawai, tanah toraja 
d. anthropologie
ilmu tentang pengetahuan tubuh manusia. pencampuran darah. misalnya yang disebabkan oleh penjajahan atau perniagaan, menyebabkan perubahan tubuh dan perubahan sifat kemakhlukan suatu bangsa.