Bahasa
Indonesia
Artikel Ilmiah :
Kearifan Budaya Lokal yang Tercermin Dalam Situs
Situs Astana Gede Kawali
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah
Bahasa Indonesia
Dosen: Kikin Kuswandi, M.Pd
Oleh :
Siti Khodijah
Ai Wulan
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU
PENDIDIKAN
UNIVERSITAS GALUH
CIAMIS
2012
KEARIFAN BUDAYA LOKAL YANG TERCERMIN DALAM SITUS
Situs Astana Gede
Kawali
Oleh:
Siti Khodijah &
Ai Wulan
Abstrak
Kawali
adalah sebuah kota kecamatan yang berada di kabupaten Ciamis propinsi Jawa
Barat-Indonesia. Kawali merupakan aset yang sangat berharga bagi kabupaten
Ciamis. Dari kota kecil ini kita akan banyak menemukan peninggalan-peninggalan
sejarah yang sangat penting. Karena peninggalan-peninggalan tersebut menyangkut
sejarah peninggalan akar budaya Sunda, baik berupa makam-makam petinggi Kerajaan
Sunda sebelum Kawali jadi pusat ibukota kerajaan (yang berada di Winduraja
Kawali) maupun peninggalan-peninggalan raja-raja yang pernah bertahta di Kawali
yang berada di Astana Gede Kawali. Kawali tidak akan menjadi tempat
penting dalam sejarah sunda jika di tempat ini tidak terdapat peninggalan
sejarah yang sudah diakui keabsahannya. Baik sumber primer seperti prasasti
dari abad 14 M yang terdapat di Astana Gede, maupun sumber sekunder lainnya
berupa catatan atau naskah yang ditulis dengan cara ditoreh atau digores dalam
daun lontar atau nipah dengan menggunakan peso pengot. Kegiatan menulis dengan
menggunakan daun lontar dan pisau pengot rupanya sudah menjadi budaya pada
waktu untuk melahirkan karya-karya sastra sunda buhun.
Kata
Kunci: Sejarah, Pengembangan,
Pelestarian, dan Nilai Budaya
Sejarah Kerajaan Kawali
Kerajaan
Kawali tidak diketahui secara pasti pada zaman pemerintahan
siapakah pusat Kerajaan Sunda mulai berada di Kawali. Akan tetapi, berdasarkan
prasasti-prasasti yang terdapat di Astanagede (Kawali), dapat diketahui bahwa
setidaknya pada masa pemerintahan Rahyang Niskala Wastu Kancana, pusat kerajaan
sudah berada di sana. Istananya bernama Surawisesa. Disebutkan dalam
prasasti-prasasti tersebut bahwa baginda raja telah membuat selokan di
sekeliling kerajaan dan desa-desa untuk rakyatnya.
Astana
Gede Kawali dijadikan sebagai pusat pemerintahan yaitu pada masa pemerintahan: Prabu
Ajiguna Linggawisesa, Prabu Ragamulya, Prabu Linggabuana, Rahyang Niskala
Wastukancana dan Dewa Niskala.
Pada
masa pemerintahan Prabu Linggabuana terjadi peristiwa berdarah. Peristiwa
berdarah tersebut merupakan sejarah pahit bagi Kerajaan Sunda, dimana telah
terjadi penghianatan yang dilakukan oleh Mahapatih Gajahmada Dari Kerajaan
Majapahit. Kerajaan Sunda merupakan satu-satunya kerajaan di Nusantara yang
tidak bisa ditundukan oleh Kerajaan Majapahit, sehingga sumpah dari Mahapatih
Gajahmada yang disebut Sumpah Palapa belum bisa diwujudkan. Niat Raja Majapahit
yang pada waktu itu rajanya Prabu Hayam Wuruk untuk mempersunting Putri dari
Kerajaan Sunda (Dyah Pitaloka / Citraresmi / Candra Kirana) dijadikan sebagai
alat untuk mewujudkan agar sumpahnya bisa tercapai. Suatu waktu rombongan dari
Kerajaan Sunda yang dipimpin langsung oleh Prabu Linggabuana untuk menikahkan
putrinya dengan Prabu Hayam Wuruk sampai di lokasi Bubat. Rombongan diminta
oleh Patih Gajahmada untuk menyerahkan Putri Kerajaan Sunda sebagai upeti
kepada Kerajaan Majapahit sebagai tanda bahwa Kerajaan Sunda telah takluk
kepada Kerajaan Majapahit. Prabu Linggabuana tidak bisa menerima perlakuan itu,
akibatnya terjadilah perang di Bubat itu. Rombongan dari Kerajaan Sunda gugur
dimedan Bubat, termasuk Putri Kerajaan Sunda yang memilih untuk mati daripada
dijadikan sebagai upeti bukan permaisuri.
Dengan
adanya peristiwa itu maka pemerintahan di Kerajaan Sunda Kawali sementara waktu
dipegang oleh Prabu Bunisora adik dari Prabu Linggabuana. Setelah putra mahkota
Rahyang Niskala Wastukancana dewasa dan dinobatkan menjadi Raja Kawali
pemerintahan dipegang oleh beliau.
Selanjutnya dilanjutkan oleh putranya Prabu Dewa Niskala. Penerus dari
Prabu Dewa Niskala yaitu Jayadewata memindahkan pemerintahan dari Kawali ke
Pakuan Pajajaran.
Niskala
Wastu Kencana memiliki dua orang putra dari istri yang berbeda. Keduanya
mewarisi tahta yang sederajat, yakni Sunda di Galuh dan Sunda di Pakuan.
Setelah Wastu Kancana wafat pada tahun 1475, kerajaan Sunda dipecah, Sunda
Galuh yang berpusat di Keraton Surawisesa diperintah oleh Ningrat Kencana
dengan gelar Prabu Dewa Niskala sedangkan Sunda Pakuan yang berpusat di Keraton
Sri Bima diperintah oleh Sang Haliwungan dengan gelar Prabu Susuktunggal
(Pakuan).
Kisah penyatuan kerajaan Sunda
warisan Wastu Kancana tidak terlepas dari adanya peristiwa di Galuh. Pada masa
tersebut, tahta Sunda di Kawali sudah diwariskan kepada Dewa Niskala, dan ia di
anggap ngarumpak larangan yang berlaku di keraton Galuh. Mungkin pada waktu
dikatagorikan dengan pelanggaran moral.
Masalah moralitas di wilayah Galuh
sangat mewarnai perubahan jalannya sejarah Sunda, ditenggarai dari kisah
Smarakarya Mandiminyak (Amara) dengan Pwah Rababu, istri Sempakwaja yang
membuahkan perebutan tahta Galuh. Kisah selanjutnya adalah Kisah Dewi Pangrenyep.
Didalam versi cerita tradisional, seperi pantun dan babad, kisah ini diabadikan
didalam lalakon Ciung Wanara. Demkian pula didalam kisah Dewa Niskala yang
dianggap ngarumpak tabu keraton dengan cara menikahi putri hulanjar dan
sekaligus istri larangan.
Dari masing-masing kisah tersebut
sebenarnya dapat disimpulkan, bahwa keraton Galuh memiliki tradisi yang sangat
menghormati moralitas, pada masa itu diatur dalam suatu bentuk etika hidup dan
kenegaraan, yang disebut Purbatisti – Purbajati, bahkan memiliki sanksi yang
tegas, dikucilkan dari lingkungan atau diturunkan dari tahtanya.
Keyakinan dan ketaatan Keraton Galuh
demikian menjadikan suatu hal yang lumrah ketika nyusud kagirangna, karena
Cikal Bakal Galuh adalah Kendan yang didirikan oleh Resi Manikmaya, resi
sekaligus penguasa. Pada periode berikutnya para keturunan Galuh menciptakan
keseimbangan dengan membentuk negara Galunggung sebagai negara agama
(kabataraan) yang memiliki kekuatan untuk mengontrol perilaku penguasa Galuh.
Ketaatan Galuh terhadap Galunggung nampak pula ketika masa Demunawan
menginisiasi Perjanjian Galuh, sehingga pada periode berikutnya sangat wajar,
ketika Dewa Niskala dipaksa untuk mengundurkan diri karena dianggap ngarumpak
larangan.
Peristiwa Dewa Niskala didalam
sejarah resmi sangat terkait pula dengan eksodusnya keluarga Keraton Majapahit
ke Kawali, pasca huru hara di Majapahit yang menjatuhkan Brawijaya V. Pada masa
tersebut Majapahit mendapat serangan beruntun dari Demak dan Girindrawardana.
Keluarga keraton Majapahit mengungsi ke Pasuruan, Blambangan dan Supit Udang,
namun tak kurang pula yang mengungsi ke Kawali disebelah barat Majapahit.
Kisah pelarian keluarga keraton
Majapahit yang menuju wilayah Galuh tiba di Kawali. Mereka dipimpin oleh Raden
Baribin, saudara seayah Prabu Kretabhumi. Mereka disambut dengan senang hati
oleh Dewa Niskala. Raden Baribin kemudian di jodohkan dengan Ratu Ayu Kirana,
putri Prabu Dewa Niskala. Putri ini adiknya Banyakcatra atau Kamandaka, bupati
Galuh di Pasir Luhur dan Banyakngampar bupati Galuh di Dayeuh Luhur.
Sayangnya Dewa Niskala dianggap ‘ngarumpak larangan’ karena menikahi
seorang rara hulanjar dan istri larangan (wanita terlarang)
dari salah satu rombongan para pengungsi. Rara hulanjar sebutan untuk wanita yang telah bertunangan.
Masalah hulanjar sama halnya dengan aturan di Majapahit, yakni perempuan yang
masih bertunangan dan telah menerima Panglarang,
tidak boleh diperistri kecuali tunangannya telah meninggal dunia atau
membatalkan pertunangannya.
Wanita terlarang (Istri larangan) di
dalam tradisi Sunda pada masa itu ada tiga macam. Hal ini sebagaimana rujukan
dari Carita Parahyangan dan Siksa Kandang Karesian, yaitu : (1) gadis atau
wanita yang telah dilamar dan lamarannya diterima, gadis atau wanita terlarang
bagi pria lain untuk meminang dan mengganggu, (2) Wanita yang berasal dari
Tanah Jawa, terlarang dikawin oleh pria Sunda dan larangan tersebut dilatar
belakangi peristiwa Bubat, dan (3) ibu tiri yang tidak boleh dinikahi oleh pria
yang ayahnya pernah menikahi wanita tersebut.
Sejatinya
suatu larangan akan ditaati jika mengandung sanksi, karena suatu larangan tanpa
sanksi hanya bersifat himbauan maka tidak memiliki alat pemaksa. Demikian pula
di dalam hukum adat, seseorang akan dikenakan sanksi jika ia melanggar
keseimbangan adat, dalam hal ini ada ketentuan adat yang dilanggar Dewa
Niskala, yakni Purbatisti Prbajati (tradisi) keraton Galuh yang selalu
diamanatkan oleh Wastu Kencana dan leluhur sebelumnya.
Keberadaan Situs Astana Gede dan Peninggalannya
Astana
Gede Kawali merupakan pusat pemerintahan
kerajaan Sunda-Galuh.Raja-raja yang pernah bertahta di tempat ini adalah Prabu
Ajiguna Linggawisesa,yang dikenal dengan sebutan sang lumah ing kiding,kemudian
Prabu Ragamulya atau Aki Kolot,setelah itu Prabu Linggabuwana yang gugur pada
peristiwa bubat,Rahyang Niskala Wastukancana yang meninggalkan beberapa
prasasti di Astana Gede, dan Dewa Niskala anak dari Rahyang Wastukancana.
Secara
administrasi Situs Astana Gede berada di
Kampung Indrayasa, Desa Kawali, Kecamatan kawali, Kabupaten Ciamis. Situs ini
berada di kaki Gunung Sawal bagian timur. Tanah situs ini berstatus tanah desa.
Jarak dari ibukota Ciamis kurang lebih 21 km ke arah utara menuju Cirebon. Sedangkan
untuk mencapai lokasi Situs Astana Gede Kawali dari ibukota Kecamatan Kawali
dapat ditempuh dengan kendaraan roda dua atau kendaraan roda empat kurang lebih
1,5 km ke arah barat dengan kondisi jalan yang telah diaspal dan baik.
Situs
Astana Gede berada pada ketinggian kurang lebih 365 meter dari permukaan air
laut dengan luas kurang lebih 5 Ha. Sebelah barat Situs tersebut terdapat
sumber mata air Cikawali yang tidak pernah kering walau musim kemarau. Batas
situs ini yaitu, sebelah utara Sungai Cikadondong, sebelah timur parit kecil
dari Sungan Ciguntur, sebelah selatan Sungai Cibulan, dan sebelah barat Sungai
Cigarunggung. Lingkungan situs ini berupa hutan lindung yang ditumbuhi oleh
berbagai vegetasi cukup rapatsehingga kelembaban situs cukup tinggi dengan suhu
kurang lebih 22 derajat celcius. Kondisi lingkungan tersebut akan berakibat
pada pelestarian objek warisan budaya bangsa yang mempunyai nilai
historis-arkeologis.
Situs
ini diduga kuat pada awalnya merupakan Situs Prasejarah dari kronologi megalitik.
Indikasi yang dapat dilihat adalah
berupa tinggalan, Punden Berundak dengan teras-terasnya dan menhir (batu
tegak). Tetapi selanjutnya area situs digunakan pada masa Klasik (Hindu-Budha)
dengan indikasi temuan prasasti sejumlah enam buah.
Punden
Berundak diduga memiliki tiga teras dengan susunan batu, antar teras tidak
begitu tampak jelas karena terdapat susunan batu sudah banyak yang hilang terutama
pada teras bawah. Teras Utama merupakan teras teratas dengan ukuran 15meter x
13,5 meter dan tinggi teras 50-70 cm. Teras 1 ini berpagar bambu yang dianyam,
dibagian tengahnya terdapat makam yang dipercaya oleh masyarakat sekitar sebagai makam Kiai Adipati Singacala seorang
tokoh penyebar Agama Islam pertama di daerah Kawali. Sekelilingnya makam menggunakan jirat dengan susunan batu empat
persegi panjang, membujur utara-selatan. Melihat dari bentuk nisan dapat diduga
bahwa makam ini kemungkinan baru, tidak sejaman dengan tinggalan punden
berundak ataupun prasasti. Sedangkan susunan batu yang membatasi makam tersebut
dengan menyusun susunan batu yang ada di bangunan punden tersebut.
Teras
2 memiliki ketinggian 20-40 cm, berpagar besi. Pada teras ini terdapat sejumlah
peninggalan yang diberi cungkup sebagai pelindung, dengan pagar dari kayu.
Teras berbentuk empat persegi dengan ukuran panjang sisi utara 27,6 meter; sisi
barat 25,65 meter; sisi selatan 27,6 meter; dan sisi timur 26,15 meter. Adapun
jenis peninggalan yang di Teras 2 ini, terdiri dari pelinggih (batu datar),
menhir, Prasasti 1 (1a dan 1b), Prasasti 2, Prasasti 5 dan Prasasti 6.
Teras
3 memiliki selisih ketinggian dengan Teras 2 kurang lebih 20-30 cm dan yang
masih tampak sisa-sisa susunan terasnya yaitu pada sisi baratlaut. Di Teras 2
inilah Prasasti 3 dan Prasasti 4 ada.
a. Prasasti Kawali
1
Prasasti
ini terletak di tenggara batu Pelinggih, telah diberi cungkup dengan atap dari
sirap. Bangunan cangkup ini dilengkapi dengan pagar kayu dan lantai dari
susunan batu kali yang disemen dan batu prasasti menyatu dengan lantai
tersebut.
Batu
prasasti berbentuk empat persegi tidak sama sisi. Prasasti menghadap kea rah
baratlaut,terlihat pada arah hadap permukaan batu yang terdapat tulisannya.
Diduga kuat sebelum penulisan pesan-pesan, permukaan batu terlebih dahulu
melalui proses pembentukan dengan perataan dan penghalusan permukaan
menggunakan benda keras dan pemberian garis. Inskripsi tulisan terdiri 10
baris, dengan huruf dan bahasa Sunda Kuno. Pada setiap baris diberi garis,
seolah-olah tulisan dibatasi dengan garis. Pada sudut kiri atas dan baris
pertama terdapat atribut (regalia) yang mempunyai cakra dengan jenis seperti
trisula pada keempat sisinya. Disamping pada permukaan atas, inskripsi tulisan
terdapat juga pada keempat sisi batu (selatan, barat, utara dan timur), tetapi
tidak diberi garis.
Oleh
Hasan Djafar, prasasti ini dibagi dua yaitu dengan sebutan Prasasti 1a yaitu
untuk menyebutkan inskripsi tulisan yang ada di permukaan atas (10 baris) dan
Prasasti 1b untuk inskripsi tulisan yang ada pada sisi-sisinya (keempat sisi).
b. Prasasti
Kawali 2
Prasasti
ini terletak 2,5 meter sebelah timur laut dari Prasasti 1. Objek telah diberi
cungkup (2,65x2,23 m) dengan atap sirap kayu dan lantai susunan batu kali yang
siberi semen. Sedangkan batu prasasti yang berupa batu tegak (up right-stone),
berdiri menyatu dengan lantai, di bagian bawahnya (sebelah tenggara) terdapat
tiga buah batu yang seolah-olah menopang posisi prasasti yang terlihat agak
miring kea rah baratdaya.
Dengan
memperhatikan permukaan batu tersebut, dapat dinyatakan bahwa Prasasti ini
menghadap ke arah timurlaut. Sebelum permukaan batu dipahatdengan inskripsi
tulisan, terlebih dahulu melalui proses penghalusan. Sehingga diperoleh
permukaan cukup rata dan halus. Prasasti ini tidak memiliki tanda atau hiasan.
Inskripsi
tulisan menggunakan tulisan dan bahasa Sunda kuno, berjumlah 7 baris yang
dipahatkan pada permukaan batu. Pada bagian bawah diberi garis bawah.
c. Prasasti 3
Batu Tapak Berinskripsi)
Prasasti
ini terletak 25 meter sebelah selatan dari Prasasti 1. Objek Prasasti 3 ini
telah diberi cungkup sebagai pelindung dari hujan dan terik matahari. Atap
cungkup menggunakan sirap kayu da berlantai susunan batu kali yang disemen,
sedangkan objek prasasti sendiri tidak menyatu dengan lantai. Sekeliling
cangkup diberi pagar kayu setinggi 90 cm, dengan pintu sebelah selatan. Kurang
lebih Batu Prasasti 3 terletak 12 meter sebelah tenggara dari batu pelinggih.
Pada
sisi selatan masih terdapat relief, yaitu sepasang telapak kaki dan telapak
tangan kiri yang menghadap ke arah utara atau pahatan. Kurang Kurang lebih
objek batu prasasti berbentuk segi lima tidak sama sisi. Permukaan batu
kemungkinan besar mengalami proses penghalusan meskipun masih terdapat
permukaan berlubang. Inskripsi tulisan hanya satu baris yang diletakan sisi barat,
menggunakan huruf dan bahasa Sunda kuno. Inskripsi tulisan tersebut dibaca dari
arah barat. Pada pebelah atasnya (sisi utara permukaan batu) terdapat pahatan
(guratan) yang terbagi dalam 5 kolom dan 9 baris, sehingga jumlahnya 45 kotak.
d. Prasasti Kawali
4
20
meter sebelah baratlaut lingga semu. Prasasti ini telah dilindungi dengan
cungkup (2,69x1,67 m), beratap sirap kayu dan lantai susunan batu kali yang
disemen. Objek terbuat dari batu andesit berbentuk batu tegak (up right-stone)
dengan posisi agak miring ke arah baratdaya. Batu prasasti ini berdiri menyatu
dengan lantai. Disebelah baratdaya terdapat batu panjang dalam posisi rebah.
Permukaan
batu yang terdapat inskripsi tulisan kemungkinan besar mengalami proses
penghalusan. Prasasti ini menghadap kea rah timur laut. Pada permukaan batu ini
hanya terdapat dua baris inskripsi tulisandengan menggunakan huruf dan bahasa
Sunda Kuno. Kondisi objek relatif terpelihara, meskipun pada sisi timurlaut
bagian bawah terdapat jasad renik, moss. Menurut kepercayaan masyarakat
setempat Batu Prasasti ini disebut juga Batu ‘Panyandungan’. Menurut legenda,
di Astana Gede Kanjeng Raja Prabu Wastu Kancana sering menghilang (ngaleungit).
Selama menghilang ternyata beliau sedang mengelilingi batu panyandungan selama 7
kali sambil tidak bernafas. Selesai mengelilingi batu panyandungan Beliau
merasa pusing kepalanya. Kemudian Beliau memberikan peringatan kepada
orang-orang yang ingin memadu (nyandung) bahwa rasa pusingnya seperti orang
yang sedang mengelilingi batu 7 kali.
e. Prasasti
Kawali 5
4
meter sebelah tenggara linggasemu. Prasasti ini telah dilindungi dengan
bangunan cungkup (2,69x1,67 m), beratap sirap kayu dan lantai susunan batu kali
yang disemen. Objek terbuat dari batu andesit berbentuk batu tegak (up right-stone)
dengan posisi agak miring ke arah baratdaya. Batu prasasti ini berdiri menyatu
dengan lantai. Disebelah baratdaya terdapat batu panjang dalam posisi rebah.
Permukaan
batu yang terdapat inskripsi tulisan kemungkinan besar mengalami proses
perataan dan penghalusan. Prasasti ini menghadap ke arah timur laut. Pada
permukaan batu ini hanya terdapat dua baris inskripsi tulisan dengan
menggunakan huruf dan bahasa Sunda Kuno. Menurut Dr. J. Noorduyn prasasti ini
seharusnya dibaca “a(j)nana” yang berarti “perintahnya”, perintah dari Sri
Maharaja Prabu Raja Wastu. Kondisi objek relatif terpelihara, meskipun pada
sisi timurlaut bagian bawah terdapat jasad renik, moss.
f. Prasasti
Kawali 6
Prasasti
ini terletak 2.5 meter sebelah baratlaut dari Prasasti 1. Objek telah diberi
cungkup (2,65x2,23 m), berpagar dari kayu setinggi 123 cm, beratap sirap kayu
dan lantai susunan batu kali yang diberi semen. Sedangkan batu prasasti yang
berupa lempengan batu datar berbentuk segi empat, menyatu dengan lantai.
Permukaan
batu yang terdapat inskripsi yang relatif datar, kemungkinan besar telah
mengalami perataan atau penghalusan. Prasasti menghadap ke arah baratlaut,
terlihat pada arah hadap permukaan batu yang terdapat tulisannya. Inskripsi
tulisan terdiri 6 baris dengan menggunakan huruf dan bahasa Sunda Kuno. Pada
setiap garis tidak diberi garis seperti prasasti 1. Pada sudut kiri atas atau
baris pertama terdapat gambar flora yang mempunyai ukuran lebih besar daripada
hiasan yang ada di Prasasti 1. Prasasti 6 ini ditemukan menyusul setelah
prasasti dan objek lainnya ditangani, yaitu pada tanggal 3 Oktober 1995 oleh
Juru Kunci situs Kawali, Bapak Sopar ketika sedang membersihkan lahan situs.
Regalia
berupa pahatan cakra yang ada pada Prasasti Kawali 6 ini sama seperti pada
Prasasti Kawali 1. Tanda tersebut berupa roda cakra dari kepercayaan agama
Budha, sedangkan trisula berasal dari kepercayaan agama Ciwa. Keduanya menunjukan
pada waktu itu sudah ada kepercayaan agama Ciwa dan agama Budha yang lama
sebelumnya memang sudah ada di tanah Sunda.
Upaya Pengembangan dan Pelestarian Nilai Budaya
Situs Astana Gede
Peninggalan
sejarah di Astana Gede oleh sebagian kecil masyarakat Kawali masih dianggap
keramat atau dikeramatkan. Karena dianggap keramat, penemuan batu tulis atau
prasasti di Astana Gede,bagi masyarakat Kawali ternyata belum menunjukan reaksi
yang positif. Dalam arti, belum merasa bangga dengan peninggalan sejarah yang
ditinggalkan oleh nenek moyang. Hal ini dimungkinkan masih kurangnya
pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat tentang pentingnya benda-benda
peninggalan sejarah tersebut.
Sebagai
cagar budaya yang termasuk objek wisata apabila situs ini benar-benar
dipelihara, ditingkatkan lagi daya tariknya maka sudah tentu hal ini akan
menimbulkan kemajuan dalam bidang ekonomi. Selain itu juga akan terwujud sesuai
dengan masyarakat dari Pariwisata yang salah satunya adalah turut serta
meningkatkan taraf hidup atau perekonomian bagi masyarakat sekitar.
Berdasarkan
observasi ke lapangan, Astana Gede ini sering terjadi masalah-masalah yang
ditimbulkan dari masyarakat sekitarnya. Masalah itu diantaranya:
a. Kerusakan pada salah salah satu prasasti juga sudah
terjadi itu karena ulah pengunjung yang mencoba mengangkat batu itu.
b. Ada sebagian pagar yang rusak akibat ulah para
pemuda yang mencoba masuk lewat belakang.
c. Banyak masyarakat setempat yang sengaja memakai
jalan melewati Astana Gede apabila mereka akan pergi ke sawah dan kebun mereka,
serta banyak orang yang mencari kayu bakar.
Pihak
pengelola sudah berusaha memperingati mereka tetapi lama kelamaan dengan adanya
teguran pengelola menimbulkan salah paham. Hal itu jelas bahwa masyarakat Desa
Kawali belum menyadari pariwisata. Pembinaan yang dilakukan aparat desa sudah
dilakukan sudah dilakukan tapi masyarakat belum bisa sadar wisata.
Selain pembinaan untuk melestarikan prasasti yang
ada, perlu juga adanya pembinaan kepada masyarakat terutama para pemuda.
Apabila suatu objek sudah berkembang maka wisatawan yang datang ke lokasi
wisata, berasal dari berbagai tempat yang mempunyai budaya yang berbeda-beda
bahkan dari luar negeri sekalipun. Disinilah perlunya pembinaan para pemuda
karena takut budaya, pengaruh dari wisatawan itu masuk sehingga dapat
berpengaruh pada jiwa mereka dari unsur negatifnya.
Dalam
hal ini tujuan dari pembinaan itu adalah upaya dalam melestarikan peninggalan
bersejarah, sedangkan yang dibina adalah manusianya juga alamnya. Suatu rencana
tanpa adanya kerjasama dari manusianya tidak akan berjalan lancar.
Pekerjaan
sebagai pemandu wisata di situs Astana Gede ini adalah berupaya untuk
menerangkan nilai sejarah yang terkandung di dalam situs ini. Tetapi memang
data-data otentik untuk menerangkan keterkaitan situs ini dengan Kerajaan
Pajajaran dirasakan masih kurang karena keterbatasan. Mencampuradukan peristiwa
tersebut dengan cerita dari lisan yang menyangkut situs Astana Gede ini
sehingga terlihat ada bumbu dongengnya. Oleh karena itu diharapkan agar
keberadaan situs Astana Gede ini di ekspose oleh para pakar sejarawan agar
tingkat keilmiahannya bisa dipertanggungjawabkan.
Berkembangnya
suatu objek wisata dapat didlihat dari banyaknya pengunjung yang datang ke
objek wisata. Pengunjung yang datang ke Astana Gede ini dari takun ke tahun
mengalami peningkatan itu sedikit sekali, disbanding dengan objek wisata
lainnya.
Jelaslah
bahwa objek wisata ini kurang berkembang. Beberapa hal yang menyebabpan objek
wisata ini kurang berkembang , ada tiga hal yang sangat berpengaruh yaitu;
a. Faktor Dana
Sesuai
dengan fungsi dana yaitu perencanaan dan pengkendalian kegiatan, maka suatu
perencanaan tidak akan terwujud apabila tidak ada dananya.
b. Kerjasama
Sebuah
rencana tidak bisa dilakukan oleh satu pihak saja, melainkan harus adanya
kerjasama dengan pihak lain baik secara internal maupun eksternal.
c. Sadar Wisata
Masyarakat
Desa kawali diharapkan dapat menyadari arti dan pentingnya pariwisata setelah
itu dapat menampakan sadar wisata yang dapat menunjang Pengembangan Astana Gede
Kawali. Sadar wisata ini dapat dilakukan dengan melaksanakan dan menciptakan
suasana yang nyaman Sesuai dengan sapta pesona.
Penutup
Kabupaten
Ciamis memiliki kekayaan alam yang beragam. Sebagian diantaranya memberikan
kontribusi yang besar bagi pendapatan asli daerah, sebagian lagi dieksplorasi
untuk kepentingan wisata. Banyak tempat yang ada di Kabupaten Ciamis yang dapat
memberikan kontribusi tersebut. Diantaranya objek wisata sejarah yang mempunyai
daya tarik tinggi karena mempunyai nilai khusus dalam bentuk nilai-nilai luhur
pada masa lampau, yaitu situs yang berada di Kawali.
Kawali
adalah sebuah kota kecamatan yang berada di kabupaten Ciamis propinsi Jawa
Barat-Indonesia. Kawali merupakan aset yang sangat berharga bagi kabupaten
Ciamis. Dari kota kecil ini kita akan banyak menemukan peninggalan-peninggalan
sejarah yang sangat penting. Karena peninggalan-peninggalan tersebut menyangkut
sejarah peninggalan akar budaya Sunda, baik berupa makam-makam petinggi
Kerajaan Sunda sebelum Kawali jadi pusat ibukota kerajaan (yang berada di
Winduraja Kawali) maupun peninggalan-peninggalan raja-raja yang pernah bertahta
di Kawali yang berada di Astana Gede Kawali.
Astana
Gede Kawali merupakan lokasi peninggalan sejarah yang berlokasi disebelah barat
kota Kawali kurang lebih 1 km. Tepatnya berada di Kampung Indrayasa Desa Kawali
Kecamatan Kawali. Keadaan lingkungan situs ini merupakan hutan lindung yang
ditumbuhi dengan berbagai jenis tumbuhan tanaman keras. Pasa masa kerajaan
Sunda Galuh Astana Gede Kawali merupakan tempat suci yang bernama Kabuyutan
Sanghiang Lingga Hiang.
Daftar Pustaka
Dadan Wildan,
Tanpa Tahun (T.th) Upaya Inventarisasi
Dokumentasi Katalogisasi dan Konservasi Peninggalan Sejarah dan Kepurbakalaan
Sebagai Aset Warisan Budaya di Kabupaten Ciamis. (Hasil Seminar). Ciamis
Tanpa Penerbit.
Djaja.(2002).Astana Gede Kawali. Ciamis : Tanpa
Penerbit (Tp) .
Edi S. Ekadjati.
(1980). Masyarakat Sunda dan
Kebudayaannya. Bandung : Giri Mukti Pusaka.
Siti Dloyana K.,
dkk (1995). Situs Astana Gede Kawali. Bandung
: Departemen pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jendral Kebudayaan Balai
Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Jawa Barat
Wawancara dengan
Nara Sumber : Tokoh Masyarakat, Aparat Pemerintahan Desa, Kuncen/orang yang
mengetahui tentang Situs Astana Gede Kawali.