Sabtu, 13 Oktober 2012

Artikel ilmiah


Bahasa Indonesia
Artikel Ilmiah :

Kearifan Budaya Lokal yang Tercermin Dalam Situs
Situs Astana Gede Kawali
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Bahasa Indonesia

Dosen: Kikin Kuswandi, M.Pd
                                                                      
 






Oleh :
Siti Khodijah
Ai Wulan

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS GALUH
CIAMIS
2012

KEARIFAN BUDAYA LOKAL YANG TERCERMIN DALAM SITUS

Situs Astana Gede Kawali


Oleh:
Siti Khodijah & Ai Wulan


Abstrak
Kawali adalah sebuah kota kecamatan yang berada di kabupaten Ciamis propinsi Jawa Barat-Indonesia. Kawali merupakan aset yang sangat berharga bagi kabupaten Ciamis. Dari kota kecil ini kita akan banyak menemukan peninggalan-peninggalan sejarah yang sangat penting. Karena peninggalan-peninggalan tersebut menyangkut sejarah peninggalan akar budaya Sunda, baik berupa makam-makam petinggi Kerajaan Sunda sebelum Kawali jadi pusat ibukota kerajaan (yang berada di Winduraja Kawali) maupun peninggalan-peninggalan raja-raja yang pernah bertahta di Kawali yang berada di Astana Gede Kawali. Kawali tidak akan menjadi tempat penting dalam sejarah sunda jika di tempat ini tidak terdapat peninggalan sejarah yang sudah diakui keabsahannya. Baik sumber primer seperti prasasti dari abad 14 M yang terdapat di Astana Gede, maupun sumber sekunder lainnya berupa catatan atau naskah yang ditulis dengan cara ditoreh atau digores dalam daun lontar atau nipah dengan menggunakan peso pengot. Kegiatan menulis dengan menggunakan daun lontar dan pisau pengot rupanya sudah menjadi budaya pada waktu untuk melahirkan karya-karya sastra sunda buhun.


Kata Kunci: Sejarah, Pengembangan, Pelestarian, dan Nilai Budaya



Sejarah Kerajaan Kawali

Kerajaan Kawali tidak diketahui secara pasti pada zaman pemerintahan siapakah pusat Kerajaan Sunda mulai berada di Kawali. Akan tetapi, berdasarkan prasasti-prasasti yang terdapat di Astanagede (Kawali), dapat diketahui bahwa setidaknya pada masa pemerintahan Rahyang Niskala Wastu Kancana, pusat kerajaan sudah berada di sana. Istananya bernama Surawisesa. Disebutkan dalam prasasti-prasasti tersebut bahwa baginda raja telah membuat selokan di sekeliling kerajaan dan desa-desa untuk rakyatnya.
Astana Gede Kawali dijadikan sebagai pusat pemerintahan yaitu pada masa pemerintahan: Prabu Ajiguna Linggawisesa, Prabu Ragamulya, Prabu Linggabuana, Rahyang Niskala Wastukancana dan Dewa Niskala.
Pada masa pemerintahan Prabu Linggabuana terjadi peristiwa berdarah. Peristiwa berdarah tersebut merupakan sejarah pahit bagi Kerajaan Sunda, dimana telah terjadi penghianatan yang dilakukan oleh Mahapatih Gajahmada Dari Kerajaan Majapahit. Kerajaan Sunda merupakan satu-satunya kerajaan di Nusantara yang tidak bisa ditundukan oleh Kerajaan Majapahit, sehingga sumpah dari Mahapatih Gajahmada yang disebut Sumpah Palapa belum bisa diwujudkan. Niat Raja Majapahit yang pada waktu itu rajanya Prabu Hayam Wuruk untuk mempersunting Putri dari Kerajaan Sunda (Dyah Pitaloka / Citraresmi / Candra Kirana) dijadikan sebagai alat untuk mewujudkan agar sumpahnya bisa tercapai. Suatu waktu rombongan dari Kerajaan Sunda yang dipimpin langsung oleh Prabu Linggabuana untuk menikahkan putrinya dengan Prabu Hayam Wuruk sampai di lokasi Bubat. Rombongan diminta oleh Patih Gajahmada untuk menyerahkan Putri Kerajaan Sunda sebagai upeti kepada Kerajaan Majapahit sebagai tanda bahwa Kerajaan Sunda telah takluk kepada Kerajaan Majapahit. Prabu Linggabuana tidak bisa menerima perlakuan itu, akibatnya terjadilah perang di Bubat itu. Rombongan dari Kerajaan Sunda gugur dimedan Bubat, termasuk Putri Kerajaan Sunda yang memilih untuk mati daripada dijadikan sebagai upeti bukan permaisuri.
Dengan adanya peristiwa itu maka pemerintahan di Kerajaan Sunda Kawali sementara waktu dipegang oleh Prabu Bunisora adik dari Prabu Linggabuana. Setelah putra mahkota Rahyang Niskala Wastukancana dewasa dan dinobatkan menjadi Raja Kawali pemerintahan dipegang oleh beliau.  Selanjutnya dilanjutkan oleh putranya Prabu Dewa Niskala. Penerus dari Prabu Dewa Niskala yaitu Jayadewata memindahkan pemerintahan dari Kawali ke Pakuan Pajajaran.
Niskala Wastu Kencana memiliki dua orang putra dari istri yang berbeda. Keduanya mewarisi tahta yang sederajat, yakni Sunda di Galuh dan Sunda di Pakuan. Setelah Wastu Kancana wafat pada tahun 1475, kerajaan Sunda dipecah, Sunda Galuh yang berpusat di Keraton Surawisesa diperintah oleh Ningrat Kencana dengan gelar Prabu Dewa Niskala sedangkan Sunda Pakuan yang berpusat di Keraton Sri Bima diperintah oleh Sang Haliwungan dengan gelar Prabu Susuktunggal (Pakuan).
Kisah penyatuan kerajaan Sunda warisan Wastu Kancana tidak terlepas dari adanya peristiwa di Galuh. Pada masa tersebut, tahta Sunda di Kawali sudah diwariskan kepada Dewa Niskala, dan ia di anggap ngarumpak larangan yang berlaku di keraton Galuh. Mungkin pada waktu dikatagorikan dengan pelanggaran moral.
Masalah moralitas di wilayah Galuh sangat mewarnai perubahan jalannya sejarah Sunda, ditenggarai dari kisah Smarakarya Mandiminyak (Amara) dengan Pwah Rababu, istri Sempakwaja yang membuahkan perebutan tahta Galuh. Kisah selanjutnya adalah Kisah Dewi Pangrenyep. Didalam versi cerita tradisional, seperi pantun dan babad, kisah ini diabadikan didalam lalakon Ciung Wanara. Demkian pula didalam kisah Dewa Niskala yang dianggap ngarumpak tabu keraton dengan cara menikahi putri hulanjar dan sekaligus istri larangan.
Dari masing-masing kisah tersebut sebenarnya dapat disimpulkan, bahwa keraton Galuh memiliki tradisi yang sangat menghormati moralitas, pada masa itu diatur dalam suatu bentuk etika hidup dan kenegaraan, yang disebut Purbatisti – Purbajati, bahkan memiliki sanksi yang tegas, dikucilkan dari lingkungan atau diturunkan dari tahtanya.
Keyakinan dan ketaatan Keraton Galuh demikian menjadikan suatu hal yang lumrah ketika nyusud kagirangna, karena Cikal Bakal Galuh adalah Kendan yang didirikan oleh Resi Manikmaya, resi sekaligus penguasa. Pada periode berikutnya para keturunan Galuh menciptakan keseimbangan dengan membentuk negara Galunggung sebagai negara agama (kabataraan) yang memiliki kekuatan untuk mengontrol perilaku penguasa Galuh. Ketaatan Galuh terhadap Galunggung nampak pula ketika masa Demunawan menginisiasi Perjanjian Galuh, sehingga pada periode berikutnya sangat wajar, ketika Dewa Niskala dipaksa untuk mengundurkan diri karena dianggap ngarumpak larangan.
Peristiwa Dewa Niskala didalam sejarah resmi sangat terkait pula dengan eksodusnya keluarga Keraton Majapahit ke Kawali, pasca huru hara di Majapahit yang menjatuhkan Brawijaya V. Pada masa tersebut Majapahit mendapat serangan beruntun dari Demak dan Girindrawardana. Keluarga keraton Majapahit mengungsi ke Pasuruan, Blambangan dan Supit Udang, namun tak kurang pula yang mengungsi ke Kawali disebelah barat Majapahit.
Kisah pelarian keluarga keraton Majapahit yang menuju wilayah Galuh tiba di Kawali. Mereka dipimpin oleh Raden Baribin, saudara seayah Prabu Kretabhumi. Mereka disambut dengan senang hati oleh Dewa Niskala. Raden Baribin kemudian di jodohkan dengan Ratu Ayu Kirana, putri Prabu Dewa Niskala. Putri ini adiknya Banyakcatra atau Kamandaka, bupati Galuh di Pasir Luhur dan Banyakngampar bupati Galuh di Dayeuh Luhur.
Sayangnya Dewa Niskala dianggap ‘ngarumpak larangan’ karena menikahi seorang rara hulanjar dan istri larangan (wanita terlarang) dari salah satu rombongan para pengungsi. Rara hulanjar sebutan untuk wanita yang telah bertunangan. Masalah hulanjar sama halnya dengan aturan di Majapahit, yakni perempuan yang masih bertunangan dan telah menerima Panglarang, tidak boleh diperistri kecuali tunangannya telah meninggal dunia atau membatalkan pertunangannya.
Wanita terlarang (Istri larangan) di dalam tradisi Sunda pada masa itu ada tiga macam. Hal ini sebagaimana rujukan dari Carita Parahyangan dan Siksa Kandang Karesian, yaitu : (1) gadis atau wanita yang telah dilamar dan lamarannya diterima, gadis atau wanita terlarang bagi pria lain untuk meminang dan mengganggu, (2) Wanita yang berasal dari Tanah Jawa, terlarang dikawin oleh pria Sunda dan larangan tersebut dilatar belakangi peristiwa Bubat, dan (3) ibu tiri yang tidak boleh dinikahi oleh pria yang ayahnya pernah menikahi wanita tersebut.
Sejatinya suatu larangan akan ditaati jika mengandung sanksi, karena suatu larangan tanpa sanksi hanya bersifat himbauan maka tidak memiliki alat pemaksa. Demikian pula di dalam hukum adat, seseorang akan dikenakan sanksi jika ia melanggar keseimbangan adat, dalam hal ini ada ketentuan adat yang dilanggar Dewa Niskala, yakni Purbatisti Prbajati (tradisi) keraton Galuh yang selalu diamanatkan oleh Wastu Kencana dan leluhur sebelumnya.




Keberadaan Situs Astana Gede dan Peninggalannya

Astana Gede Kawali merupakan pusat pemerintahan kerajaan Sunda-Galuh.Raja-raja yang pernah bertahta di tempat ini adalah Prabu Ajiguna Linggawisesa,yang dikenal dengan sebutan sang lumah ing kiding,kemudian Prabu Ragamulya atau Aki Kolot,setelah itu Prabu Linggabuwana yang gugur pada peristiwa bubat,Rahyang Niskala Wastukancana yang meninggalkan beberapa prasasti di Astana Gede, dan Dewa Niskala anak dari Rahyang Wastukancana.
Secara administrasi Situs Astana Gede  berada di Kampung Indrayasa, Desa Kawali, Kecamatan kawali, Kabupaten Ciamis. Situs ini berada di kaki Gunung Sawal bagian timur. Tanah situs ini berstatus tanah desa. Jarak dari ibukota Ciamis kurang lebih 21 km ke arah utara menuju Cirebon. Sedangkan untuk mencapai lokasi Situs Astana Gede Kawali dari ibukota Kecamatan Kawali dapat ditempuh dengan kendaraan roda dua atau kendaraan roda empat kurang lebih 1,5 km ke arah  barat dengan kondisi  jalan yang telah diaspal dan baik.
Situs Astana Gede berada pada ketinggian kurang lebih 365 meter dari permukaan air laut dengan luas kurang lebih 5 Ha. Sebelah barat Situs tersebut terdapat sumber mata air Cikawali yang tidak pernah kering walau musim kemarau. Batas situs ini yaitu, sebelah utara Sungai Cikadondong, sebelah timur parit kecil dari Sungan Ciguntur, sebelah selatan Sungai Cibulan, dan sebelah barat Sungai Cigarunggung. Lingkungan situs ini berupa hutan lindung yang ditumbuhi oleh berbagai vegetasi cukup rapatsehingga kelembaban situs cukup tinggi dengan suhu kurang lebih 22 derajat celcius. Kondisi lingkungan tersebut akan berakibat pada pelestarian objek warisan budaya bangsa yang mempunyai nilai historis-arkeologis.
Situs ini diduga kuat pada awalnya merupakan Situs Prasejarah dari kronologi megalitik. Indikasi  yang dapat dilihat adalah berupa tinggalan, Punden Berundak dengan teras-terasnya dan menhir (batu tegak). Tetapi selanjutnya area situs digunakan pada masa Klasik (Hindu-Budha) dengan indikasi temuan prasasti sejumlah enam buah.
Punden Berundak diduga memiliki tiga teras dengan susunan batu, antar teras tidak begitu tampak jelas karena terdapat susunan batu sudah banyak yang hilang terutama pada teras bawah. Teras Utama merupakan teras teratas dengan ukuran 15meter x 13,5 meter dan tinggi teras 50-70 cm. Teras 1 ini berpagar bambu yang dianyam, dibagian tengahnya terdapat makam yang dipercaya oleh masyarakat sekitar  sebagai makam Kiai Adipati Singacala seorang tokoh penyebar Agama Islam pertama di daerah Kawali. Sekelilingnya makam  menggunakan jirat dengan susunan batu empat persegi panjang, membujur utara-selatan. Melihat dari bentuk nisan dapat diduga bahwa makam ini kemungkinan baru, tidak sejaman dengan tinggalan punden berundak ataupun prasasti. Sedangkan susunan batu yang membatasi makam tersebut dengan menyusun susunan batu yang ada di bangunan punden tersebut.
Teras 2 memiliki ketinggian 20-40 cm, berpagar besi. Pada teras ini terdapat sejumlah peninggalan yang diberi cungkup sebagai pelindung, dengan pagar dari kayu. Teras berbentuk empat persegi dengan ukuran panjang sisi utara 27,6 meter; sisi barat 25,65 meter; sisi selatan 27,6 meter; dan sisi timur 26,15 meter. Adapun jenis peninggalan yang di Teras 2 ini, terdiri dari pelinggih (batu datar), menhir, Prasasti 1 (1a dan 1b), Prasasti 2, Prasasti 5 dan Prasasti 6.
Teras 3 memiliki selisih ketinggian dengan Teras 2 kurang lebih 20-30 cm dan yang masih tampak sisa-sisa susunan terasnya yaitu pada sisi baratlaut. Di Teras 2 inilah Prasasti 3 dan Prasasti 4 ada.

a. Prasasti Kawali 1

Prasasti ini terletak di tenggara batu Pelinggih, telah diberi cungkup dengan atap dari sirap. Bangunan cangkup ini dilengkapi dengan pagar kayu dan lantai dari susunan batu kali yang disemen dan batu prasasti menyatu dengan lantai tersebut.
Batu prasasti berbentuk empat persegi tidak sama sisi. Prasasti menghadap kea rah baratlaut,terlihat pada arah hadap permukaan batu yang terdapat tulisannya. Diduga kuat sebelum penulisan pesan-pesan, permukaan batu terlebih dahulu melalui proses pembentukan dengan perataan dan penghalusan permukaan menggunakan benda keras dan pemberian garis. Inskripsi tulisan terdiri 10 baris, dengan huruf dan bahasa Sunda Kuno. Pada setiap baris diberi garis, seolah-olah tulisan dibatasi dengan garis. Pada sudut kiri atas dan baris pertama terdapat atribut (regalia) yang mempunyai cakra dengan jenis seperti trisula pada keempat sisinya. Disamping pada permukaan atas, inskripsi tulisan terdapat juga pada keempat sisi batu (selatan, barat, utara dan timur), tetapi tidak diberi garis.
Oleh Hasan Djafar, prasasti ini dibagi dua yaitu dengan sebutan Prasasti 1a yaitu untuk menyebutkan inskripsi tulisan yang ada di permukaan atas (10 baris) dan Prasasti 1b untuk inskripsi tulisan yang ada pada sisi-sisinya (keempat sisi).

b. Prasasti Kawali 2

Prasasti ini terletak 2,5 meter sebelah timur laut dari Prasasti 1. Objek telah diberi cungkup (2,65x2,23 m) dengan atap sirap kayu dan lantai susunan batu kali yang siberi semen. Sedangkan batu prasasti yang berupa batu tegak (up right-stone), berdiri menyatu dengan lantai, di bagian bawahnya (sebelah tenggara) terdapat tiga buah batu yang seolah-olah menopang posisi prasasti yang terlihat agak miring kea rah baratdaya.
Dengan memperhatikan permukaan batu tersebut, dapat dinyatakan bahwa Prasasti ini menghadap ke arah timurlaut. Sebelum permukaan batu dipahatdengan inskripsi tulisan, terlebih dahulu melalui proses penghalusan. Sehingga diperoleh permukaan cukup rata dan halus. Prasasti ini tidak memiliki tanda atau hiasan.
Inskripsi tulisan menggunakan tulisan dan bahasa Sunda kuno, berjumlah 7 baris yang dipahatkan pada permukaan batu. Pada bagian bawah diberi garis bawah.

c. Prasasti 3 Batu Tapak Berinskripsi)

Prasasti ini terletak 25 meter sebelah selatan dari Prasasti 1. Objek Prasasti 3 ini telah diberi cungkup sebagai pelindung dari hujan dan terik matahari. Atap cungkup menggunakan sirap kayu da berlantai susunan batu kali yang disemen, sedangkan objek prasasti sendiri tidak menyatu dengan lantai. Sekeliling cangkup diberi pagar kayu setinggi 90 cm, dengan pintu sebelah selatan. Kurang lebih Batu Prasasti 3 terletak 12 meter sebelah tenggara dari batu pelinggih.
Pada sisi selatan masih terdapat relief, yaitu sepasang telapak kaki dan telapak tangan kiri yang menghadap ke arah utara atau pahatan. Kurang Kurang lebih objek batu prasasti berbentuk segi lima tidak sama sisi. Permukaan batu kemungkinan besar mengalami proses penghalusan meskipun masih terdapat permukaan berlubang. Inskripsi tulisan hanya satu baris yang diletakan sisi barat, menggunakan huruf dan bahasa Sunda kuno. Inskripsi tulisan tersebut dibaca dari arah barat. Pada pebelah atasnya (sisi utara permukaan batu) terdapat pahatan (guratan) yang terbagi dalam 5 kolom dan 9 baris, sehingga jumlahnya 45 kotak.

d. Prasasti Kawali 4

20 meter sebelah baratlaut lingga semu. Prasasti ini telah dilindungi dengan cungkup (2,69x1,67 m), beratap sirap kayu dan lantai susunan batu kali yang disemen. Objek terbuat dari batu andesit berbentuk batu tegak (up right-stone) dengan posisi agak miring ke arah baratdaya. Batu prasasti ini berdiri menyatu dengan lantai. Disebelah baratdaya terdapat batu panjang dalam posisi rebah.
Permukaan batu yang terdapat inskripsi tulisan kemungkinan besar mengalami proses penghalusan. Prasasti ini menghadap kea rah timur laut. Pada permukaan batu ini hanya terdapat dua baris inskripsi tulisandengan menggunakan huruf dan bahasa Sunda Kuno. Kondisi objek relatif terpelihara, meskipun pada sisi timurlaut bagian bawah terdapat jasad renik, moss. Menurut kepercayaan masyarakat setempat Batu Prasasti ini disebut juga Batu ‘Panyandungan’. Menurut legenda, di Astana Gede Kanjeng Raja Prabu Wastu Kancana sering menghilang (ngaleungit). Selama menghilang ternyata beliau sedang mengelilingi batu panyandungan selama 7 kali sambil tidak bernafas. Selesai mengelilingi batu panyandungan Beliau merasa pusing kepalanya. Kemudian Beliau memberikan peringatan kepada orang-orang yang ingin memadu (nyandung) bahwa rasa pusingnya seperti orang yang sedang mengelilingi batu 7 kali.

e. Prasasti Kawali 5

4 meter sebelah tenggara linggasemu. Prasasti ini telah dilindungi dengan bangunan cungkup (2,69x1,67 m), beratap sirap kayu dan lantai susunan batu kali yang disemen. Objek terbuat dari batu andesit berbentuk batu tegak (up right-stone) dengan posisi agak miring ke arah baratdaya. Batu prasasti ini berdiri menyatu dengan lantai. Disebelah baratdaya terdapat batu panjang dalam posisi rebah.
Permukaan batu yang terdapat inskripsi tulisan kemungkinan besar mengalami proses perataan dan penghalusan. Prasasti ini menghadap ke arah timur laut. Pada permukaan batu ini hanya terdapat dua baris inskripsi tulisan dengan menggunakan huruf dan bahasa Sunda Kuno. Menurut Dr. J. Noorduyn prasasti ini seharusnya dibaca “a(j)nana” yang berarti “perintahnya”, perintah dari Sri Maharaja Prabu Raja Wastu. Kondisi objek relatif terpelihara, meskipun pada sisi timurlaut bagian bawah terdapat jasad renik, moss.

f. Prasasti Kawali 6

Prasasti ini terletak 2.5 meter sebelah baratlaut dari Prasasti 1. Objek telah diberi cungkup (2,65x2,23 m), berpagar dari kayu setinggi 123 cm, beratap sirap kayu dan lantai susunan batu kali yang diberi semen. Sedangkan batu prasasti yang berupa lempengan batu datar berbentuk segi empat, menyatu dengan lantai.
Permukaan batu yang terdapat inskripsi yang relatif datar, kemungkinan besar telah mengalami perataan atau penghalusan. Prasasti menghadap ke arah baratlaut, terlihat pada arah hadap permukaan batu yang terdapat tulisannya. Inskripsi tulisan terdiri 6 baris dengan menggunakan huruf dan bahasa Sunda Kuno. Pada setiap garis tidak diberi garis seperti prasasti 1. Pada sudut kiri atas atau baris pertama terdapat gambar flora yang mempunyai ukuran lebih besar daripada hiasan yang ada di Prasasti 1. Prasasti 6 ini ditemukan menyusul setelah prasasti dan objek lainnya ditangani, yaitu pada tanggal 3 Oktober 1995 oleh Juru Kunci situs Kawali, Bapak Sopar ketika sedang membersihkan lahan situs.
Regalia berupa pahatan cakra yang ada pada Prasasti Kawali 6 ini sama seperti pada Prasasti Kawali 1. Tanda tersebut berupa roda cakra dari kepercayaan agama Budha, sedangkan trisula berasal dari kepercayaan agama Ciwa. Keduanya menunjukan pada waktu itu sudah ada kepercayaan agama Ciwa dan agama Budha yang lama sebelumnya memang sudah ada di tanah Sunda.

Upaya Pengembangan dan Pelestarian Nilai Budaya Situs Astana Gede

Peninggalan sejarah di Astana Gede oleh sebagian kecil masyarakat Kawali masih dianggap keramat atau dikeramatkan. Karena dianggap keramat, penemuan batu tulis atau prasasti di Astana Gede,bagi masyarakat Kawali ternyata belum menunjukan reaksi yang positif. Dalam arti, belum merasa bangga dengan peninggalan sejarah yang ditinggalkan oleh nenek moyang. Hal ini dimungkinkan masih kurangnya pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat tentang pentingnya benda-benda peninggalan sejarah tersebut.
Sebagai cagar budaya yang termasuk objek wisata apabila situs ini benar-benar dipelihara, ditingkatkan lagi daya tariknya maka sudah tentu hal ini akan menimbulkan kemajuan dalam bidang ekonomi. Selain itu juga akan terwujud sesuai dengan masyarakat dari Pariwisata yang salah satunya adalah turut serta meningkatkan taraf hidup atau perekonomian bagi masyarakat sekitar.
Berdasarkan observasi ke lapangan, Astana Gede ini sering terjadi masalah-masalah yang ditimbulkan dari masyarakat sekitarnya. Masalah itu diantaranya:
a.    Kerusakan pada salah salah satu prasasti juga sudah terjadi itu karena ulah pengunjung yang mencoba mengangkat batu itu.
b.   Ada sebagian pagar yang rusak akibat ulah para pemuda yang mencoba masuk lewat belakang.
c.    Banyak masyarakat setempat yang sengaja memakai jalan melewati Astana Gede apabila mereka akan pergi ke sawah dan kebun mereka, serta banyak orang yang mencari kayu bakar.
Pihak pengelola sudah berusaha memperingati mereka tetapi lama kelamaan dengan adanya teguran pengelola menimbulkan salah paham. Hal itu jelas bahwa masyarakat Desa Kawali belum menyadari pariwisata. Pembinaan yang dilakukan aparat desa sudah dilakukan sudah dilakukan tapi masyarakat belum bisa sadar wisata.
Selain  pembinaan untuk melestarikan prasasti yang ada, perlu juga adanya pembinaan kepada masyarakat terutama para pemuda. Apabila suatu objek sudah berkembang maka wisatawan yang datang ke lokasi wisata, berasal dari berbagai tempat yang mempunyai budaya yang berbeda-beda bahkan dari luar negeri sekalipun. Disinilah perlunya pembinaan para pemuda karena takut budaya, pengaruh dari wisatawan itu masuk sehingga dapat berpengaruh pada jiwa mereka dari unsur negatifnya.
Dalam hal ini tujuan dari pembinaan itu adalah upaya dalam melestarikan peninggalan bersejarah, sedangkan yang dibina adalah manusianya juga alamnya. Suatu rencana tanpa adanya kerjasama dari manusianya tidak akan berjalan lancar.
Pekerjaan sebagai pemandu wisata di situs Astana Gede ini adalah berupaya untuk menerangkan nilai sejarah yang terkandung di dalam situs ini. Tetapi memang data-data otentik untuk menerangkan keterkaitan situs ini dengan Kerajaan Pajajaran dirasakan masih kurang karena keterbatasan. Mencampuradukan peristiwa tersebut dengan cerita dari lisan yang menyangkut situs Astana Gede ini sehingga terlihat ada bumbu dongengnya. Oleh karena itu diharapkan agar keberadaan situs Astana Gede ini di ekspose oleh para pakar sejarawan agar tingkat keilmiahannya bisa dipertanggungjawabkan.
Berkembangnya suatu objek wisata dapat didlihat dari banyaknya pengunjung yang datang ke objek wisata. Pengunjung yang datang ke Astana Gede ini dari takun ke tahun mengalami peningkatan itu sedikit sekali, disbanding dengan objek wisata lainnya.
Jelaslah bahwa objek wisata ini kurang berkembang. Beberapa hal yang menyebabpan objek wisata ini kurang berkembang , ada tiga hal yang sangat berpengaruh yaitu;

a. Faktor Dana

Sesuai dengan fungsi dana yaitu perencanaan dan pengkendalian kegiatan, maka suatu perencanaan tidak akan terwujud apabila tidak ada dananya.

b. Kerjasama

Sebuah rencana tidak bisa dilakukan oleh satu pihak saja, melainkan harus adanya kerjasama dengan pihak lain baik secara internal maupun eksternal.

c. Sadar Wisata

Masyarakat Desa kawali diharapkan dapat menyadari arti dan pentingnya pariwisata setelah itu dapat menampakan sadar wisata yang dapat menunjang Pengembangan Astana Gede Kawali. Sadar wisata ini dapat dilakukan dengan melaksanakan dan menciptakan suasana yang nyaman Sesuai dengan sapta pesona.

Penutup

Kabupaten Ciamis memiliki kekayaan alam yang beragam. Sebagian diantaranya memberikan kontribusi yang besar bagi pendapatan asli daerah, sebagian lagi dieksplorasi untuk kepentingan wisata. Banyak tempat yang ada di Kabupaten Ciamis yang dapat memberikan kontribusi tersebut. Diantaranya objek wisata sejarah yang mempunyai daya tarik tinggi karena mempunyai nilai khusus dalam bentuk nilai-nilai luhur pada masa lampau, yaitu situs yang berada di Kawali.
Kawali adalah sebuah kota kecamatan yang berada di kabupaten Ciamis propinsi Jawa Barat-Indonesia. Kawali merupakan aset yang sangat berharga bagi kabupaten Ciamis. Dari kota kecil ini kita akan banyak menemukan peninggalan-peninggalan sejarah yang sangat penting. Karena peninggalan-peninggalan tersebut menyangkut sejarah peninggalan akar budaya Sunda, baik berupa makam-makam petinggi Kerajaan Sunda sebelum Kawali jadi pusat ibukota kerajaan (yang berada di Winduraja Kawali) maupun peninggalan-peninggalan raja-raja yang pernah bertahta di Kawali yang berada di Astana Gede Kawali.
Astana Gede Kawali merupakan lokasi peninggalan sejarah yang berlokasi disebelah barat kota Kawali kurang lebih 1 km. Tepatnya berada di Kampung Indrayasa Desa Kawali Kecamatan Kawali. Keadaan lingkungan situs ini merupakan hutan lindung yang ditumbuhi dengan berbagai jenis tumbuhan tanaman keras. Pasa masa kerajaan Sunda Galuh Astana Gede Kawali merupakan tempat suci yang bernama Kabuyutan Sanghiang Lingga Hiang.

Daftar Pustaka

Dadan Wildan, Tanpa Tahun (T.th) Upaya Inventarisasi Dokumentasi Katalogisasi dan Konservasi Peninggalan Sejarah dan Kepurbakalaan Sebagai Aset Warisan Budaya di Kabupaten Ciamis. (Hasil Seminar). Ciamis Tanpa Penerbit.
Djaja.(2002).Astana Gede Kawali. Ciamis : Tanpa Penerbit (Tp) .
Edi S. Ekadjati. (1980). Masyarakat Sunda dan Kebudayaannya. Bandung : Giri Mukti Pusaka.
Siti Dloyana K., dkk (1995). Situs Astana Gede Kawali. Bandung : Departemen pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jendral Kebudayaan Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Jawa Barat
Wawancara dengan Nara Sumber : Tokoh Masyarakat, Aparat Pemerintahan Desa, Kuncen/orang yang mengetahui tentang Situs Astana Gede Kawali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar