Sabtu, 13 Oktober 2012

Jurnal ilmiah


KEARIFAN LOKAL BUDAYA SUNDA YANG TERDAPAT
DI PANJALU

Oleh :
Rizka Syamsiyah Noor & Nendah Suci Hernawati

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Program Studi Sejarah
Universitas Galuh Ciamis


Abstrak:
Nama Panjalu pada masa lalu merupakan nama sebuah kerajaan yang diperintah secara turun temurun. Akan tetapi, Panjalu di masa sekarang adalah nama sebuah desa, yang kemudian dijadikan nama sebuah kecamatan di Kabupaten Ciamis, Jawa Barat (Jabar). Sejak awal Maret 2004 lalu, Desa Panjalu ditetapkan sebagai daerah wisata oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat (Jabar). Panjalu adalah salah satu dari sedikit lokasi wisata yang mampu memadukan keindahan alam dengan potensi budayanya yang adiluhung. Selain itu, di sana juga bisa melakukan wisata ziarah, karena terdapat sekitar 28 lokasi ziarah, tempat para leluhur Panjalu yang diakui sebagai cikal bakal Sunda dimakamkan. Namun, dari banyak pilihan itu, Situ Lengkong bisa dinilai sebagai pusat kegiatan wisata alam sekaligus wisata ziarah.
Kata kunci: Sejarah Panjalu, Silsilah Panjalu dan Masuknya Pengaruh Islam dan Cirebon.
Sejarah Panjalu
Nama Panjalu pada masa lalu merupakan nama sebuah kerajaan yang diperintah secara turun temurun. Akan tetapi, Panjalu di masa sekarang adalah nama sebuah desa, yang kemudian dijadikan nama sebuah kecamatan di Kabupaten Ciamis, Jawa Barat (Jabar). Sejak awal Maret 2004 lalu, Desa Panjalu ditetapkan sebagai daerah wisata oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat (Jabar).
Kecamatan Panjalu mempunyai luas wilayah sebesar 50,60 Km² dengan jumlah penduduk 46.991 jiwa serta tingkat kepadatan penduduk sebanyak 300 jiwa/Km². Jumlah penduduk terbanyak dan kepadatan penduduknya tertinggi ada di Desa Panjalu sebanyak 11408 jiwa/Km².
Letak Geografis Kecamatan Panjalu sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Sukamantri, di sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Panumbangan, di sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Lumbung, dan di sebelah Selatan berbatasan dengan Gunung Sawal.
Keadaan iklim di Kecamatan Panjalu terutama jika dilihat dari jumlah curah hujan pada tahun 2010 agak kurang, yakni dengan rata-rata hari hujan sebanyak 270 hari / bulan dan rata-rata curah hujan sebesar 4.222 mm / bulan. Jumlah curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Mei sebesar 694 mm dan jumlah curah hujan terendah terjadi pada bulan November yaitu sebesar 124 mm. Jika dilihat dari banyaknya hari hujan terjadi pada bulan Januari, Februari, Maret, Mei dan Oktober masing-masing sebanyak 24-28 hari sedangkan bulan-bulan kering terjadi pada bulan April, Juli dan Agustus.
Daerah ini sebenarnya sudah dikenal sebagai daerah yang banyak dikunjungi wisatawan, selain tentunya primadona wisata Ciamis, Pantai Pangandaran. Dari ibu kota Ciamis, posisi Desa Panjalu berada 41 kilometer ke arah utara, atau sekitar 110 kilometer dari Bandung. Sementara dari wilayah Cirebon, desa ini juga bisa ditempuh dengan perjalanan serupa sepanjang 75 kilometer dari Kuningan.
Watak orang Panjalu sampai sekarang di mata orang Sunda pada umumnya, atau dibandingkan dengan watak orang Sunda pada umumnya, orang Panjalu dikenal lebih keras, militan juga disegani, karena konon memiliki banyak ilmu kanuragan warisan dari nenek moyang mereka.
Seorang putra Panjalu, H. Atong Tjakradinata, yang menyimpan catatan sejarah panjang tanah leluhurnya mengungkapkan, nama Panjalu merupakan sebuah singkatan dari “PAPAGON NAGARA JADIKEUN AMALAN LAHIR BATIN ULAH SALAH”. Panjalu di masa lalu adalah sebuah kerajaan yang dipimpin Sanghyang Tunggal Ratu Galuh Nyakrawati Ing Nusa Jawa. Tokoh ini diyakini sebagai pemimpin pertama di Jabar, yang kemudian menurunkan generasi kerajaan yang pernah ada di wilayah ini, termasuk Kerajaan Padjadjaran yang dipimpin Prabu Siliwangi.
Panjalu adalah salah satu dari sedikit lokasi wisata yang mampu memadukan keindahan alam dengan potensi budayanya yang adiluhung. Selain itu, di sana juga bisa melakukan wisata ziarah, karena terdapat sekitar 28 lokasi ziarah, tempat para leluhur Panjalu yang diakui sebagai cikal bakal Sunda dimakamkan. Namun, dari banyak pilihan itu, Situ Lengkong bisa dinilai sebagai pusat kegiatan wisata alam sekaligus wisata ziarah.
Ibu Kota Panjalu
Ibukota atau pusat kerajaan Panjalu berpindah-pindah sesuai dengan perkembangan zaman, beberapa lokasi yang pernah menjadi pusat kerajaan adalah :
v  Karantenan Gunung Sawal
Karantenan Gunung Sawal menjadi pusat kerajaan semasa Panjalu menjadi daerah Kebataraaan, yaitu semasa kekuasaan Batara Tesnajati, Batara Layah dan Batara Karimun Putih. Di Karantenan Gunung Sawal ini terdapat mata air suci dan sebuah artefak berupa situs megalitik berbentuk batu pipih berukuran kira-kira 1,7 m x 1,5 m x 0,2 m. Batu ini diduga kuat digunakan sebagai sarana upacara-upacara keagamaan, termasuk penobatan raja-raja Panjalu bahkan mungkin penobatan Maharaja Sunda.
v  Dayeuhluhur Maparah
Dayeuhluhur (kota tinggi) menjadi pusat pemerintahan sejak masa Prabu Sanghyang Rangga Gumilang sampai dengan Prabu Sanghyang Cakradewa. Kaprabon Dayeuhluhur terletak di bukit Citatah tepi Situ Bahara (Situ Sanghyang). Tidak jauh dari Dayeuhluhur terdapat hutan larangan Cipanjalu yang menjadi tempat bersemedi raja-raja Panjalu.
v  Nusa Larang
Prabu Sanghyang Borosngora memindahkan kaprabon (kediaman raja) dari Dayeuhluhur ke Nusa Larang. Nusa Larang adalah sebuah pulau yang terdapat di tengah-tengah Situ Lengkong. Dinamai juga Nusa Gede karena pada zaman dulu ada juga pulau yang lebih kecil bernama Nusa Pakel. Untuk menyeberangi situ menuju Keraton Nusa Larang dibangun sebuah Cukang Padung (jembatan) yang dijaga oleh Gulang-gulang (penjaga gerbang) bernama Apun Otek. Sementara Nusa Pakel dijadikan Tamansari dan di Hujung Winangun dibangun Kapatihan untuk Patih Sanghyang Panji Barani.
v  Dayeuh Nagasari Ciomas
Dayeuh Nagasari dijadikan kediaman raja pada masa pemerintahan Prabu Rahyang Kancana sampai dengan pemerintahan Bupati Raden Arya Wirabaya. Dayeuh Nagasari sekarang termasuk kedalam wilayah Desa Ciomas, Kecamatan Panjalu, Ciamis.
Pada masa pemerintahan Prabu Rahyang Kancana, di Ciomas juga terdapat sebuah pemerintahan daerah yang dikepalai oleh seorang Dalem (Bupati) bernama Dalem Mangkubumi yang wilayahnya masuk kedalam kekuasaan Kerajaan Panjalu.
Silsilah Ciomas Panjalu
1.      Buyut Asuh;
2.      Buyut Pangasuh.
3.      Buyut Surangganta.
4.      Buyut Suranggading.
5.      Dalem Mangkubumi.
6.      Dalem Penghulu Gusti.
7.      Dalem Wangsaniangga.
8.      Dalem Wangsanangga.
9.      Dalem Margabangsa.
10.  Demang Wangsadipraja. Menjabat sebagai Patih Panjalu pada masa pemerintahan Arya Sumalah dan Pangeran Arya Sacanata, berputera Demang Wargabangsa I.
11.  Demang Wargabangsa I. Menjabat sebagai Patih Panjalu pada masa pemerintahan Arya Wirabaya, berputera Demang Wargabangsa II.
12.  Demang Wargabangsa II. Menjabat sebagai Patih Panjalu pada masa pemerintahan Tumenggung Wirapraja, memperisteri Nyi Raden Siti Kalimah binti Raden Jiwakrama bin Pangeran Arya Sacanata, berputera Demang Diramantri I.
13.  Demang Diramantri I. Menjabat sebagai Patih Panjalu pada masa pemerintahan Tumenggung Cakranagara I, memperisteri Nyi Raden Panatamantri binti Tumenggung Cakranagara I dan mempunyai tiga orang anak bernama 1) Demang Diramantri II, 2) Demang Wangsadipraja, dan Nyi Raden Sanggrana (diperisteri seorang Sultan Cirebon).
14.  Demang Diramantri II. Menjabat sebagai Patih Panjalu pada masa pemerintahan Tumenggung Cakranagara II menggantikan Demang Suradipraja. Sedangkan sang adik yaitu Demang Wangsadipraja menjadi Patih Panjalu pada masa pemerintahan Tumenggung Cakranagara III, Demang Wangsadipraja mempunyai dua orang anak yaitu: 1) Demang Prajanagara, dan 2) Demang Cakrayuda.
15.  Demang Prajanagara diangkat menjadi Patih Galuh, sedangkan adiknya yang bernama Demang Cakrayuda diangkat menjadi Patih Kuningan. Demang Cakrayuda memperisteri Nyi Raden Rengganingrum binti Tumenggung Cakranagara II dan menurunkan putera bernama Demang Dendareja.
16.  Demang Dendareja diangkat menjadi Patih Galuh.

v  Dayeuh Panjalu
Raden Tumenggung Wirapraja kemudian memindahkan kediaman bupati ke Dayeuh Panjalu sekarang. Sementara itu pusat kerajaan Panjalu ditandai dengan sembilan tutunggul gada-gada perjagaan yaitu patok-patok yang menjadi batas pusat kerajaan sekaligus berfungsi sebagai pos penjagaan yang dikenal dengan Batara Salapan, yaitu terdiri dari:
  1. Sri Manggelong di Kubang Kelong, Rinduwangi
  2. Sri Manggulang di Cipalika, Bahara
  3. Kebo Patenggel di Muhara Cilutung, Hujungtiwu
  4. Sri Keukeuh Saeukeurweuleuh di Ranca Gaul, Tengger
  5. Lembu Dulur di Giut Tenjolaya, Sindangherang
  6. Sang Bukas Tangan di Citaman, Citatah
  7. Batara Terus Patala di Ganjar Ciroke, Golat
  8. Sang Ratu Lahuta di Gajah Agung Cilimus, Banjarangsana
  9. Sri Pakuntilan di Curug Goong, Maparah
Masuknya Islam dan Pengaruh Cirebon
Sunan Gunung Jati
Menurut cerita yang disampaikan secara turun-temurun, masuknya Islam ke Panjalu dibawa oleh Sanghyang Borosngora yang tertarik menuntut ilmu sampai ke Mekkah lalu di-Islamkan oleh Sayidina Ali bin Abi Thalib R.A. Legenda rakyat ini mirip dengan kisah Pangeran Kian Santang atau Sunan Godog Garut, yaitu ketika Kian Santang atau Raja Sangara (adik Pangeran Cakrabuana Walangsungsang) yang setelah diislamkan oleh Baginda Ali di Mekkah kemudian berusaha mengislamkan ayahnya Sang Prabu Siliwangi.
Sementara itu menurut Babad Panjalu: dari Baginda Ali, Sanghyang Borosngora mendapatkan cinderamata berupa air zamzam, pedang, cis (tongkat) dan pakaian kebesaran. Air zamzam tersebut kemudian dijadikan cikal-bakal air Situ Lengkong, sedangkan pusaka-pusaka pemberian Baginda Ali itu sampai sekarang masih tersimpan di Pasucian Bumi Alit dan dikirabkan setelah disucikan setiap bulan Mulud dalam upacara Nyangku di Panjalu pada hari Senin atau hari Kamis terakhir bulan Maulud (Rabiul Awal).
Penyebaran Islam secara serentak dan menyeluruh di tatar Sunda sesungguhnya dimulai sejak Syarif Hidayatullah (1448-1568) diangkat sebagai penguasa Cirebon oleh Pangeran Cakrabuana bergelar Gusti Susuhunan Jati (Sunan Gunung Jati) dan menyatakan melepaskan diri dari Kemaharajaan Sunda dengan menghentikan pengiriman upeti pada tahun 1479. Peristiwa ini terjadi ketika wilayah Sunda dipimpin oleh Sang Haliwungan Prabu Susuktunggal (1475-1482) di Pakwan Pajajaran dan Ningrat Kancana Prabu Dewa Niskala (1475-1482) di Kawali. Jauh sebelum itu, para pemeluk agama Islam hanya terkonsentrasi di daerah-daerah pesisir atau pelabuhan yang penduduknya banyak melakukan interaksi dengan para saudagar atau pedagang dari Gujarat, Persia dan Timur Tengah.
Puteri Prabu Susuktunggal yang bernama Nay Kentring Manik Mayang Sunda kemudian dinikahkan dengan putera Prabu Dewa Niskala yang bernama Jayadewata. Jayadewata kemudian dinobatkan sebagai penguasa Pakwan Pajajaran dan Kawali bergelar Sri Baduga Maharaja Ratu Aji di Pakwan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata, dengan demikian maka seperti juga mendiang kakeknya yang bernama Niskala Wastu Kancana ia menyatukan Pakwan Pajajaran (Sunda) dan Kawali (Galuh) dalam satu mahkota Maharaja Sunda.
Sri Baduga Maharaja juga memindahkan ibokota Sunda dari Kawali ke Pakwan Pajajaran, meskipun hal ini bukan kali pertama ibukota Kemaharaajaan Sunda berpindah antara Sunda dan Galuh, namun salah satu alasan perpindahan ibukota negara ini diduga kuat sebagai antisipasi semakin menguatnya kekuasaan Demak dan Cirebon.
Pada masa pemerintahan Sri Baduga Maharaja (1481-1521) kerajaan-kerajaan yang masih mengirimkan upetinya ke Pakwan Pajajaran adalah Galunggung, Denuh, Talaga, Geger Bandung, Windu Galuh, Malaka, Mandala, Puma, Lewa dan Kandangwesi (Pleyte, 1911:172). Akan tetapi hal itu tidak bertahan lama karena satu persatu daerah bawahan Sunda itu ditaklukan Cirebon.
Raja Talaga Sunan Parunggangsa ditaklukkan Cirebon pada tahun 1529 dan kemudian bersama puterinya Ratu Sunyalarang, juga menantunya Ranggamantri Pucuk Umun secara sukarela memeluk Islam. Di Sumedang Larang Ratu Setyasih atau Ratu Inten Dewata atau Ratu Pucuk Umun (1530-1579) mengakui kekuasaan Cirebon dan memeluk Islam.
Di Kerajaan Kuningan Ratu Selawati menyerah kepada pasukan Cirebon, salah seorang puterinya kemudian dinikahkan dengan anak angkat Gusti Susuhunan Jati yang bernama Suranggajaya, Suranggajaya kemudian diangkat menjadi Bupati Kuningan bergelar Sang Adipati Kuningan karena Kuningan menjadi bagian dari Cirebon.
Di kerajaan Galuh, penguasa Galuh yang bernama Ujang Meni bergelar Maharaja Cipta Sanghyang di Galuh berusaha mempertahankan wilayahnya dari serbuan pasukan Cirebon, tapi karena kekuatan yang tidak seimbang maka ia bersama puteranya yang bernama Ujang Ngekel yang kemudian naik tahta Galuh bergelar Prabu di Galuh Cipta Permana (1595-1608) juga mau tak mau harus mengakui kekuasaan Cirebon serta akhirnya memeluk Islam dengan sukarela. Demikian juga yang terjadi di Kerajaan Sindangkasih (Majalengka). Berdasarkan rentetan peristiwa-peristiwa yang terjadi di kerajaan-kerajaan tetangganya tersebut, maka diperkirakan pada periode yang bersamaan Kerajaan Panjalu juga menjadi taklukan Cirebon dan menerima penyebaran Islam.
Kemaharajaan Sunda sendiri posisinya semakin lama semakin terjepit oleh kekuasaan Cirebon-Demak di sebelah timur dan Banten di sebelah barat. Pada tahun 1579 pasukan koalisi Banten-Cirebon dipimpin oleh Sultan Banten Maulana Yusuf berhasil mengalahkan pertahanan terakhir pasukan Sunda, kaprabon dan ibukota Kemaharajaan Sunda yaitu Pakwan Pajajaran berhasil diduduki, benda-benda yang menjadi simbol Kemaharajaan Sunda diboyong ke Banten termasuk batu singgasana penobatan Maharaja Sunda berukuran 200cm x 160cm x 20cm yang bernama Palangka Sriman Sriwacana (orang Banten menyebutnya Watu Gilang atau batu berkilau) . Akibat peristiwa ini, Prabu Ragamulya Surya Kancana (1567-1579) beserta seluruh anggota keluarganya menyelamatkan diri dari kaprabon yang menandai berakhirnya Kemaharajaan Sunda.
Menurut sumber sejarah Sumedang Larang, ketika peristiwa itu terjadi empat orang kepercayaan Prabu Ragamulya Surya Kancana yang dikenal dengan Kandaga Lante yang terdiri dari Sanghyang Hawu (Jayaperkosa), Batara Adipati Wiradijaya (Nangganan), Sanghyang Kondanghapa dan Batara Pancar Buana (Terong Peot) berhasil menyelamatkan atribut pakaian kebesaran Maharaja Sunda yang terdiri dari mahkota emas simbol kekuasaan Raja Pakwan, kalung bersusun dua dan tiga, serta perhiasan lainnya seperti benten, siger, tampekan, dan kilat bahu. Atribut-atribut kebesaran tersebut kemudian diserahkan kepada Raden Angkawijaya putera Ratu Inten Dewata (1530-1579) yang kemudian naik tahta Sumedang Larang dengan gelar Prabu Geusan Ulun (1579-1601).
Dewasa ini Nusa Larang dan Situ Lengkong Panjalu menjadi obyek wisata alam dan wisata ziarah Islami utama di Kabupaten Ciamis dan selalu ramai dikunjungi oleh para peziarah dari seluruh Indonesia terutama dari Jawa Timur, apalagi setelah Presiden IV RI K.H. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur diketahui beberapa kali berziarah di Nusa Larang dan mengaku bahwa dirinya juga adalah keturunan Panjalu.
Situ Lengkong sekarang termasuk kedalam wilayah Desa/Kecamatan Panjalu Kabupaten Ciamis Jawa Barat. Dalam Bahasa Sunda; kata situ artinya danau. Situ Lengkong atau dikenal juga dengan Situ Panjalu terletak di ketinggian 700 meter di bawah permukaan laut. Di tengah danau tersebut terdapat sebuah pulau yang dinamai Nusa Larangan atau Nusa Gede atau ada juga yang menyebutnya sebagai Nusa Panjalu. Menurut legenda rakyat dan Babad Panjalu, Situ Lengkong adalah sebuah danau buatan, sebelumnya daerah ini adalah kawasan legok (bhs. Sunda : lembah) yang mengelilingi bukit bernama Pasir Jambu (Bhs. Sunda: pasir artinya bukit).
Menurut sejarah, Situ Lengkong bukanlah situ alam yang terjadi dengan sendirinya, melainkan hasil dari buatan para leluhur Panjalu. Pada awal abad ke 6 (Menurut catatan Seksi Kebudayaan abad ke 16) raja yang memerintah kerajaan Hindu yang bernama Panjalu ialah Prabu Sang Hyang Cakradewa. Beliau menginginkan agar putra yang akan menggantikannya kelak haruslah memiliki ilmu yang paling ampuh dan paling sempurna.
Setelah mengetahui hal tersebut, maka berangkatlah sang putra Mahkota dengan waktu yang cukup lama. Sampailah beliau di Tanah Suci Makkah dan di sanalah tujuannya tercapai, yaitu mempelajari dan mendalami agama Islam dengan mengucap dua kalimah syahadat.
Sang Putra Mahkota pulang ke Panjalu dengan dibekali air zamzam, pakaian kesultanan serta perlengkapan pedang dan cis dengan mengemban tugas harus menjadi raja Islam sekaligus mengIslamkan rakyatnya.
Kerajaan Panjalu pun berubah menjadi kerajaan Islam. Air zamzam yang dibawanya dari Tanah Suci Makkah ditumpahkan pada sebuah lembah yang bernama Lembah Pasir Jambu, kemudian air yang ada pada lembah itu bertambah banyak dan akhirnya menjadi sebuah danau yang sekarang disebut dengan Situ Lengkong Panjalu dan sekaligus merupakan benteng pertahanan keraton. Luas Situ Lengkong sendiri adalah 57,95 hektar dan Nusa Gede 9,25 hektar. Jadi, luas keseluruhan Situ Lengkong adalah 67,2 hektar dengan kedalaman air sekitar 4 sampai dengan 6 meter.
Nusa Gede merupakan pulau yang terletak di tengah Situ Lengkong Panjalu. Sekarang ini, Nusa Gede menjadi hutan lindung di bawah pengawasan Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) yang di dalamnya terdapat cagar budaya di bawah lindungan suaka peninggalan sejarah dan purbakala yang berkedudukan di Serang, luasnya sekitar 0,5 hektar dimana di sana terdapat makam penyebar agama Islam yang disebut dengan Mbah Panjalu. Di wilayah ini tedapat 32 jenis pohon yang mencapai 307 buah pohon. Sedangkan hewan yang terdapat di wilayah ini adalah kalong besar, burung hantu, serta tupai. [Sugeng Sumaryadi/Eries M Rizal/N-3]



Daftar pohon-pohon di lokasi Nusa Gede/Situ Lengkong Panjalu:
Nomor
Nama Pohon
Jumlah
1
Ki Bima
1
2
Ki Sapu
5
3
Picung Celeng
3
4
Hamba Ruta
13
5
Ki Kadanea
37
6
Kalapa Ciung
42
7
Manglad
1
8
Manglid
26
9
Ki Sapi
4
10
Tenggak Caah
6
11
Ki Gugula
11
12
Ki Cempaka
27
13
Kopo
3
14
Ki Haji
2
15
Cempaka
1
16
Ki Putri
7
17
Aprika
2
18
Ki Bangban
4
19
Ansana
2
20
Teureup
19
21
Ki Terong
9
22
Huru Dapung
6
23
Huru Biasa
17
24
Hamperu Badak
3
25
Kanjere
4
26
Puspa
19
27
Ki Keuyeup
4
28
Caringin
4
29
Enow
6
30
Rambulan
1
31
Limus
1
32
Ki Banten
1
Jumlah
307 pohon

Adapun pedang dan cis serta pakaian kesultanan yang dibawanya itu disimpan di Bumi Alit.
“Bumi Alit” adalah suatu bangunan kecil tempat penyimpanan benda-benda yang dianggap penting semasa masih berlangsungnya kerajaan Panjalu pada masa lalu. Bumi Alit atau disebut juga dengan pasucian merupakan sebuah bangunan yang berfungsi sebagai museum yang di dalamnya terdapat Benda-benda Cagar Budaya (BCB) yang sengaja disimpan sebagai bukti. Benda-benda tersebut dirawat secara baik oleh yayasan Borosngora (Borosngora = seorang raja kerajaan Panjalu yang beragama Islam bernama Syekh Haji Dzul Iman).
Letak Bumi Alit tidak jauh dari Situ Lengkong. Bumi Alit terletak  dekat terminal Panjalu. Museum Bumi Alit yang sekarang merupakan percampuran bentuk modern dengan bentuk mesjid pada zaman dahulu yang beratap susun tiga. Untuk masuk ke Museum Bumi Alit ada tiga pintu. Pada pintu masuk terdapat patung Ular bermahkota, dan di pintu gerbang/gapura terdapat patung berkepala Gajah.
Pada sekarang ini, tepatnya di sekitar Situ Lengkong Panjalu tidak pernah sepi oleh pengunjung.  Di antara pengunjung-pengunjung yang datang ialah dari daerah Cirebon dan Tasikmalaya dan lain sebagainya. Tujuan mereka pun bermacam-macam. Ada yang sekedar ingin mencari suasana baru, dan ada pula yang bertujuan untuk berekreasi. Namun, kebanyakan yang datang adalah untuk berziarah ke makam Mbah Panjalu yang terletak di Nusa Gede, karena Situ Lengkong sendiri merupakan obyek wisata sekaligus tempat ziarah.
Nyangku merupakan upacara sakral dan merupakan sisa-sisa peninggalan sejarah, yaitu sejarah dalam rangka perkembangan agama Islam di kerajaan Panjalu, juga merupakan sisa-sisa peninggalan upacara Nyangku yang dahulu. Pada zaman dahulu, upacara Nyangku ini dilakukan dengan tujuan agar penduduk Panjalu yang masih memeluk agama Hindu tertarik untuk masuk agama Islam.
Istilah Nyangku berasal dari bahasa Arab yaitu “Yanko” yang artinya membersihkan. Karena sering salah dalam pengucapan, maka menjadi “Nyangku”.
Yang dimaksud dengan membersihkan di sini ialah membersihkan benda-benda pusaka peninggalan para leluhur Panjalu agar awet dengan menggunakan tata cara tersendiri sebagai adat.
Benda-benda yang dibersihkan pada upacara sakral Nyangku, di antaranya:
v  Pedang sebagai senjata pembela diri dalam rangka menyebarkan agama Islam;
v  Cis sebagai senjata pembela dalam rangka menyebarkan agama Islam;
v  Kujang bekas membelah belanga yang menutupi kepala Bombang Kancana;
v  Keris Komando senjata bekas para raja Panjalu sebagai tongkat komando;
v  Keris pegangan para Bupati Panjalu;
v  Pancaworo senjata perang;
v  Bangreng merupakan senjata perang;
v  Gong kecil alat untuk mengumpulkan rakyat pada masa dahulu;
v  Semua benda pusaka yang ada di keluarga Yayasan Borosngora dan benda pusaka yang ada di masyarakat Panjalu.
Adapun makna umum dari upacara Nyangku adalah untuk membersihkan diri dari segala sesuatu yang dilarang oleh agama, juga bertujuan untuk memperingati Maulid nabi Muhammad SAW. sekaligus mempererat hubungan persaudaraan keturunan Panjalu. Karena upacara Nyangku sendiri rutin dilaksanakan satu tahun sekali, tepatnya pada hari Senin atau Kamis di akhir bulan Maulid. Adapun penyelenggaraannya dilaksanakan oleh  para sesepuh Panjalu, unsur pemerintah desa, LDKMD, tokoh masyarakat, dan para kuncen. Yayasan Borosngora dan desa bertugas sebagai koordinator jalannya upacara Nyangku. Semuanya mengenakan pakaian adat.
Kesenian yang ditampilkan dalam upacara Nyangku di antaranya kesenian Gemyung (untuk mengiringi jalannya upacara), Wayang Landung (sebagai hiburan setelah upacara selesai).
Menjelang upacara Nyangku, Situ Lengkong dipenuhi oleh berbagai kalangan. Pasar Seni pun ramai dikunjungi. Di pasar Seni, dijual berbagai macam oleh-oleh. Misalnya saja pakaian dengan gambar Situ Lengkong, tas/sandal yang terbuat dari rotan, terasi, manisan dari kulit jeruk bali, comring, jawadah, dan lain-lain. Namun, yang paling terkenal dan menjadi khas asli daerah Panjalu adalah jawadah.
Jawadah adalah makanan khas Panjalu yang terkenal dan sudah beredar hingga ke luar kabupaten Ciamis. Jawadah merupakan makanan sejenis wajit. Kelebihan dari jawadah yaitu lebih awet (tahan lama), dapat disimpan dalam waktu yang lama.


PENUTUP
Masyarakat atau buyut-buyut Panjalu harus bangga dan bersyukur lebih bahkan harus bisa mentafakuri warisan-warisan yang diberikan para Raja terdahulu, mulai dari ilmu, papagon, akhlak-akhlak yang mulia serta peninggalan lainnya. Itu semua adalah bukti perjuangan dan semangat para karuhun sebagai para pendiri kerajaan dan yang membuka perkampungan di wilayah Panjalu. Yang paling penting adalah warisan perjuangan keislaman, atau ketauhidan, kebijaksanaan, dan akhlak yang mulia.
Sadar ataupun tidak sadar dengan adanya patilasan tersebut, dari dulu, sekarang dan yang akan datang masyarakat Panjalu merasakan manfaatnya baik besar ataupun kecil. Dari berbagai daerah silih berganti mengunjungi Panjalu. Dengan banyaknya pengunjung masyarakat Pajalu bisa membuka lapangan kerja baru, baik jasa ataupun materi/dagangan.
Karuhun Panjalu tidak mewariskan sifat kekerasan, kesombongan dan bangga akan daerah atau golongannya. Islam adalah saudara, Karuhun Panjalu tidak hidup di Panjalu saja, melainkan pernah hidup di daerah-daerah Ciamis lainnya, bahkan sampai ke Garut, Sumedang, Bandung, Sukabumi, Jampang, Banten dan lain-lainnya. Namanya pun banyak sekali sesuai dengan daerah ia tinggal. Jadi jangan sampai adanya permusuhan atau ujub ria takabur merasa paling benar atau jago karena ia adalah keturunan Raja Panjalu. Semuanya adalah saudara, buyut-buyut Raja-raja Pasundan, jadi tidak boleh orang Panjalu bermusuhan dengan orang Sumedang atau orang Bandung karena masih satu keturunan.
Mereka sayang kepada keturunan setelah mereka, sekarang termasuk kepada buyut-buyutnya dan yang akan datang. Terbukti Situ Panjalu, Bumi Alit, dan patilasan-patilasan yang tersebar di Kecamatan Panjalu menjadi berkah dan menambah penghasilan bagi masyarakat sekitar. Dari penghasilan Wisata ziarah, ratusan juta rupiah terkumpul tiap tahunnya.
Berbicara soal pembangunan yang menjadi perhatian utama, bukan hanya pembangunan fisik tetapi non fisik pun harus dibangun sehingga terjadi keseimbangan. Yang namanya tidak seimbang tentu tidak bagus dan akan pincang.


DAFTAR PUSTAKA
  • Argadipraja, R. Duke. (1992). Babad Panjalu Galur Raja-raja Tatar Sunda. Bandung: Mekar Rahayu.
  • Atlas Indonesia & Dunia Edisi 33 Propinsi di Indonesia. (2000). Jakarta. Pustaka Sandro.
  • Ayatrohaedi. (2005). Sundakala: Cuplikan Sejarah Sunda Berdasarkan Naskah-naskah "Panitia Wangsakerta" dari Cirebon. Jakarta: Pustaka Jaya.
  • Ekadjati, Edi S. (1977). Wawacan Sajarah Galuh. Bandung: EFEO.
  • Hidayat, Yayat. Mengenal Warisan Kerajaan Panjalu. Artikel Majalah Misteri Edisi 20 Peb - 04 Mar 2010.
  • http://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Panjalu_Ciamis
  • http://ciamiskab.bps.go.id/index.php/tentang-perstatistikan/78-news1776678893/latest-news1286940385/121-kecamatan-panjalu-2011
  • Suganda, Her. Situ Lengkong dan Nusalarang, Wisata Alami yang Islami. Artikel Harian Kompas, 21 Juni 2003.
  • Suganda, Her. Naskah Sunda Kuno Antara Sejarah dan Nilai Sakral. Artikel Harian Kompas, 24 Mei 2008.
  • Sukardja, H.Djadja. (1997). Maung Panjalu dan Nyangku. Ciamis: H. Djadja Sukardja S.
  • Sukardja, H.Djadja. (2001). Sejarah Kisah Panjalu dalam Enam Versi. Ciamis: H. Djadja Sukardja S.
  • Sutarwan, Aam Permana. Gus Dur "Merevisi" Sejarah Situ Lengkong Panjalu, Air Situ Lengkong berasal dari Mekah. Artikel Harian Pikiran Rakyat, 10 Juli 2000.
  • Sumaryadi, Sugeng/Eriez M Rizal. Menengok Rahasia Sukses Warga Panjalu. Artikel Harian Media Indonesia, 13 Maret 2004.
  • Tim Peneliti Sejarah Galuh (1972). Galuh Ciamis dan Tinjauan Sejarah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar