KEARIFAN
LOKAL BUDAYA SUNDA YANG TERDAPAT
DI
PANJALU
Oleh
:
Rizka
Syamsiyah Noor & Nendah Suci Hernawati
Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Program
Studi Sejarah
Universitas
Galuh Ciamis
Abstrak:
Nama Panjalu
pada masa lalu merupakan nama sebuah kerajaan yang diperintah secara turun
temurun. Akan tetapi, Panjalu di masa sekarang
adalah nama sebuah desa, yang kemudian dijadikan nama sebuah kecamatan di
Kabupaten Ciamis, Jawa Barat (Jabar). Sejak awal Maret 2004 lalu, Desa Panjalu
ditetapkan sebagai daerah wisata oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat (Jabar). Panjalu
adalah salah satu dari sedikit lokasi wisata yang mampu memadukan keindahan
alam dengan potensi budayanya yang adiluhung. Selain itu, di sana juga bisa
melakukan wisata ziarah, karena terdapat sekitar 28 lokasi ziarah, tempat para
leluhur Panjalu yang diakui sebagai cikal bakal Sunda dimakamkan. Namun, dari
banyak pilihan itu, Situ Lengkong bisa dinilai sebagai pusat kegiatan wisata
alam sekaligus wisata ziarah.
Kata kunci: Sejarah Panjalu, Silsilah
Panjalu dan Masuknya Pengaruh Islam dan Cirebon.
Sejarah
Panjalu
Nama Panjalu
pada masa lalu merupakan nama sebuah kerajaan yang diperintah secara turun
temurun. Akan tetapi, Panjalu di masa sekarang
adalah nama sebuah desa, yang kemudian dijadikan nama sebuah kecamatan di
Kabupaten Ciamis, Jawa Barat (Jabar). Sejak awal Maret 2004 lalu, Desa Panjalu
ditetapkan sebagai daerah wisata oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat (Jabar).
Kecamatan
Panjalu mempunyai luas wilayah sebesar 50,60 Km² dengan jumlah penduduk 46.991
jiwa serta tingkat kepadatan penduduk sebanyak 300 jiwa/Km². Jumlah penduduk
terbanyak dan kepadatan penduduknya tertinggi ada di Desa Panjalu sebanyak
11408 jiwa/Km².
Letak
Geografis Kecamatan Panjalu sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan
Sukamantri, di sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Panumbangan, di
sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Lumbung, dan di sebelah Selatan
berbatasan dengan Gunung Sawal.
Keadaan
iklim di Kecamatan Panjalu terutama jika dilihat dari jumlah curah hujan pada
tahun 2010 agak kurang, yakni dengan rata-rata hari hujan sebanyak 270 hari /
bulan dan rata-rata curah hujan sebesar 4.222 mm / bulan. Jumlah curah hujan
tertinggi terjadi pada bulan Mei sebesar 694 mm dan jumlah curah hujan terendah
terjadi pada bulan November yaitu sebesar 124 mm. Jika dilihat dari banyaknya
hari hujan terjadi pada bulan Januari, Februari, Maret, Mei dan Oktober
masing-masing sebanyak 24-28 hari sedangkan bulan-bulan kering terjadi pada
bulan April, Juli dan Agustus.
Daerah ini sebenarnya sudah dikenal
sebagai daerah yang banyak dikunjungi wisatawan, selain tentunya primadona
wisata Ciamis, Pantai Pangandaran. Dari ibu kota Ciamis, posisi Desa Panjalu
berada 41 kilometer ke arah utara, atau sekitar 110 kilometer dari Bandung.
Sementara dari wilayah Cirebon, desa ini juga bisa ditempuh dengan perjalanan
serupa sepanjang 75 kilometer dari Kuningan.
Watak orang Panjalu sampai sekarang
di mata orang Sunda pada umumnya, atau dibandingkan dengan watak orang Sunda
pada umumnya, orang Panjalu dikenal lebih keras, militan juga disegani, karena
konon memiliki banyak ilmu kanuragan warisan dari nenek moyang mereka.
Seorang putra Panjalu, H. Atong
Tjakradinata, yang menyimpan catatan sejarah panjang tanah leluhurnya
mengungkapkan, nama Panjalu merupakan sebuah singkatan
dari “PAPAGON NAGARA JADIKEUN AMALAN LAHIR BATIN ULAH SALAH”. Panjalu di
masa lalu adalah sebuah kerajaan yang dipimpin Sanghyang Tunggal Ratu Galuh
Nyakrawati Ing Nusa Jawa. Tokoh ini diyakini sebagai pemimpin pertama di Jabar,
yang kemudian menurunkan generasi kerajaan yang pernah ada di wilayah ini,
termasuk Kerajaan Padjadjaran yang dipimpin Prabu Siliwangi.
Panjalu adalah salah satu dari
sedikit lokasi wisata yang mampu memadukan keindahan alam dengan potensi
budayanya yang adiluhung. Selain itu, di sana juga bisa melakukan wisata
ziarah, karena terdapat sekitar 28 lokasi ziarah, tempat para leluhur Panjalu
yang diakui sebagai cikal bakal Sunda dimakamkan. Namun, dari banyak pilihan
itu, Situ Lengkong bisa dinilai sebagai pusat kegiatan wisata alam sekaligus
wisata ziarah.
Ibu Kota
Panjalu
Ibukota atau pusat kerajaan Panjalu
berpindah-pindah sesuai dengan perkembangan zaman, beberapa lokasi yang pernah
menjadi pusat kerajaan adalah :
v
Karantenan Gunung Sawal
Karantenan Gunung Sawal menjadi
pusat kerajaan semasa Panjalu menjadi daerah Kebataraaan, yaitu semasa
kekuasaan Batara Tesnajati, Batara Layah dan Batara Karimun Putih. Di
Karantenan Gunung Sawal ini terdapat mata air suci dan sebuah artefak berupa
situs megalitik berbentuk batu pipih berukuran kira-kira 1,7 m x 1,5 m x 0,2 m.
Batu ini diduga kuat digunakan sebagai sarana upacara-upacara keagamaan,
termasuk penobatan raja-raja Panjalu bahkan mungkin penobatan Maharaja Sunda.
v
Dayeuhluhur Maparah
Dayeuhluhur (kota tinggi) menjadi
pusat pemerintahan sejak masa Prabu Sanghyang Rangga Gumilang sampai dengan
Prabu Sanghyang Cakradewa. Kaprabon Dayeuhluhur terletak di bukit Citatah tepi
Situ Bahara (Situ Sanghyang). Tidak jauh dari Dayeuhluhur terdapat hutan
larangan Cipanjalu yang menjadi tempat bersemedi raja-raja Panjalu.
v
Nusa Larang
Prabu Sanghyang Borosngora
memindahkan kaprabon (kediaman raja) dari Dayeuhluhur ke Nusa Larang. Nusa
Larang adalah sebuah pulau yang terdapat di tengah-tengah Situ Lengkong. Dinamai juga Nusa Gede karena pada
zaman dulu ada juga pulau yang lebih kecil bernama Nusa Pakel. Untuk
menyeberangi situ menuju Keraton Nusa Larang dibangun sebuah Cukang Padung
(jembatan) yang dijaga oleh Gulang-gulang (penjaga gerbang) bernama Apun Otek.
Sementara Nusa Pakel dijadikan Tamansari dan di Hujung Winangun dibangun
Kapatihan untuk Patih Sanghyang Panji Barani.
v
Dayeuh Nagasari Ciomas
Dayeuh Nagasari dijadikan kediaman
raja pada masa pemerintahan Prabu Rahyang Kancana sampai dengan pemerintahan
Bupati Raden Arya Wirabaya. Dayeuh Nagasari sekarang termasuk kedalam wilayah
Desa Ciomas, Kecamatan Panjalu, Ciamis.
Pada masa pemerintahan Prabu Rahyang
Kancana, di Ciomas juga terdapat sebuah pemerintahan daerah yang dikepalai oleh
seorang Dalem (Bupati) bernama Dalem Mangkubumi yang wilayahnya masuk
kedalam kekuasaan Kerajaan Panjalu.
Silsilah
Ciomas Panjalu
1. Buyut Asuh;
2. Buyut Pangasuh.
3. Buyut Surangganta.
4. Buyut Suranggading.
5. Dalem Mangkubumi.
6. Dalem Penghulu Gusti.
7. Dalem Wangsaniangga.
8. Dalem Wangsanangga.
9. Dalem Margabangsa.
10. Demang Wangsadipraja. Menjabat
sebagai Patih Panjalu pada masa pemerintahan Arya Sumalah dan Pangeran Arya
Sacanata, berputera Demang Wargabangsa I.
11. Demang Wargabangsa I. Menjabat
sebagai Patih Panjalu pada masa pemerintahan Arya Wirabaya, berputera Demang
Wargabangsa II.
12. Demang Wargabangsa II. Menjabat
sebagai Patih Panjalu pada masa pemerintahan Tumenggung Wirapraja, memperisteri
Nyi Raden Siti Kalimah binti Raden Jiwakrama bin Pangeran Arya Sacanata,
berputera Demang Diramantri I.
13. Demang Diramantri I. Menjabat
sebagai Patih Panjalu pada masa pemerintahan Tumenggung Cakranagara I,
memperisteri Nyi Raden Panatamantri binti Tumenggung Cakranagara I dan
mempunyai tiga orang anak bernama 1) Demang Diramantri II, 2) Demang
Wangsadipraja, dan Nyi Raden Sanggrana (diperisteri seorang Sultan Cirebon).
14. Demang Diramantri II. Menjabat
sebagai Patih Panjalu pada masa pemerintahan Tumenggung Cakranagara II
menggantikan Demang Suradipraja. Sedangkan sang adik yaitu Demang Wangsadipraja menjadi Patih
Panjalu pada masa pemerintahan Tumenggung Cakranagara III, Demang Wangsadipraja
mempunyai dua orang anak yaitu: 1) Demang Prajanagara, dan 2) Demang Cakrayuda.
15. Demang Prajanagara diangkat
menjadi Patih Galuh, sedangkan adiknya yang bernama Demang Cakrayuda diangkat menjadi Patih Kuningan. Demang Cakrayuda
memperisteri Nyi Raden Rengganingrum binti Tumenggung Cakranagara II dan
menurunkan putera bernama Demang Dendareja.
16. Demang Dendareja diangkat
menjadi Patih Galuh.
v
Dayeuh Panjalu
Raden Tumenggung Wirapraja kemudian
memindahkan kediaman bupati ke Dayeuh Panjalu sekarang. Sementara itu pusat
kerajaan Panjalu ditandai dengan sembilan tutunggul gada-gada perjagaan
yaitu patok-patok yang menjadi batas pusat kerajaan sekaligus berfungsi sebagai
pos penjagaan yang dikenal dengan Batara
Salapan, yaitu terdiri dari:
- Sri Manggelong di Kubang Kelong, Rinduwangi
- Sri Manggulang di Cipalika, Bahara
- Kebo Patenggel di Muhara Cilutung, Hujungtiwu
- Sri Keukeuh Saeukeurweuleuh di Ranca Gaul,
Tengger
- Lembu Dulur di Giut Tenjolaya, Sindangherang
- Sang Bukas Tangan di Citaman, Citatah
- Batara Terus Patala di Ganjar Ciroke, Golat
- Sang Ratu Lahuta di Gajah Agung Cilimus,
Banjarangsana
- Sri Pakuntilan di Curug Goong, Maparah
Sunan Gunung Jati
Menurut cerita yang disampaikan
secara turun-temurun, masuknya Islam ke Panjalu dibawa oleh Sanghyang
Borosngora yang tertarik menuntut ilmu sampai ke Mekkah lalu di-Islamkan oleh Sayidina Ali bin Abi Thalib R.A. Legenda
rakyat ini mirip dengan kisah Pangeran Kian Santang atau Sunan Godog Garut, yaitu
ketika Kian Santang atau Raja Sangara (adik Pangeran Cakrabuana Walangsungsang)
yang setelah diislamkan oleh Baginda Ali di Mekkah kemudian berusaha
mengislamkan ayahnya Sang Prabu Siliwangi.
Sementara itu menurut Babad Panjalu: dari Baginda Ali, Sanghyang
Borosngora mendapatkan cinderamata berupa air zamzam, pedang, cis (tongkat) dan pakaian
kebesaran. Air zamzam tersebut kemudian dijadikan cikal-bakal air Situ
Lengkong, sedangkan pusaka-pusaka pemberian Baginda Ali itu sampai sekarang
masih tersimpan di Pasucian Bumi Alit dan dikirabkan setelah disucikan
setiap bulan Mulud dalam upacara Nyangku di Panjalu pada hari Senin atau
hari Kamis terakhir bulan Maulud (Rabiul Awal).
Penyebaran Islam secara serentak dan
menyeluruh di tatar Sunda sesungguhnya dimulai sejak Syarif Hidayatullah (1448-1568) diangkat sebagai penguasa Cirebon
oleh Pangeran Cakrabuana bergelar Gusti Susuhunan Jati (Sunan Gunung Jati) dan
menyatakan melepaskan diri dari Kemaharajaan Sunda dengan menghentikan
pengiriman upeti pada tahun 1479. Peristiwa
ini terjadi ketika wilayah Sunda dipimpin oleh Sang Haliwungan Prabu
Susuktunggal (1475-1482) di Pakwan Pajajaran dan Ningrat
Kancana Prabu Dewa Niskala (1475-1482) di Kawali. Jauh sebelum itu, para
pemeluk agama Islam hanya terkonsentrasi di daerah-daerah pesisir atau
pelabuhan yang penduduknya banyak melakukan interaksi dengan para saudagar atau
pedagang dari Gujarat, Persia dan Timur Tengah.
Puteri Prabu Susuktunggal yang
bernama Nay Kentring Manik Mayang Sunda kemudian dinikahkan dengan putera Prabu
Dewa Niskala yang bernama Jayadewata. Jayadewata kemudian dinobatkan sebagai
penguasa Pakwan Pajajaran dan Kawali bergelar Sri Baduga Maharaja Ratu Aji di
Pakwan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata, dengan demikian maka seperti juga
mendiang kakeknya yang bernama Niskala Wastu Kancana ia menyatukan Pakwan
Pajajaran (Sunda) dan Kawali (Galuh) dalam satu mahkota Maharaja Sunda.
Sri Baduga Maharaja juga memindahkan
ibokota Sunda dari Kawali ke Pakwan Pajajaran, meskipun hal ini bukan kali
pertama ibukota Kemaharaajaan Sunda berpindah antara Sunda dan Galuh, namun
salah satu alasan perpindahan ibukota negara ini diduga kuat sebagai antisipasi
semakin menguatnya kekuasaan Demak dan Cirebon.
Pada masa pemerintahan Sri Baduga
Maharaja (1481-1521) kerajaan-kerajaan yang masih
mengirimkan upetinya ke Pakwan Pajajaran adalah Galunggung, Denuh, Talaga,
Geger Bandung, Windu Galuh, Malaka, Mandala, Puma, Lewa dan Kandangwesi
(Pleyte, 1911:172). Akan tetapi hal itu tidak bertahan lama karena satu persatu
daerah bawahan Sunda itu ditaklukan Cirebon.
Raja Talaga Sunan Parunggangsa
ditaklukkan Cirebon pada tahun 1529 dan kemudian bersama puterinya Ratu
Sunyalarang, juga menantunya Ranggamantri Pucuk Umun secara sukarela memeluk
Islam. Di Sumedang Larang Ratu Setyasih atau Ratu Inten Dewata atau Ratu Pucuk
Umun (1530-1579) mengakui kekuasaan Cirebon dan
memeluk Islam.
Di Kerajaan Kuningan Ratu Selawati
menyerah kepada pasukan Cirebon, salah seorang puterinya kemudian dinikahkan
dengan anak angkat Gusti Susuhunan Jati yang bernama Suranggajaya, Suranggajaya
kemudian diangkat menjadi Bupati Kuningan bergelar Sang Adipati Kuningan karena
Kuningan menjadi bagian dari Cirebon.
Di kerajaan Galuh, penguasa Galuh
yang bernama Ujang Meni bergelar Maharaja Cipta Sanghyang di Galuh berusaha
mempertahankan wilayahnya dari serbuan pasukan Cirebon, tapi karena kekuatan
yang tidak seimbang maka ia bersama puteranya yang bernama Ujang Ngekel yang
kemudian naik tahta Galuh bergelar Prabu di Galuh Cipta Permana (1595-1608) juga mau tak mau harus mengakui
kekuasaan Cirebon serta akhirnya memeluk Islam dengan sukarela. Demikian juga
yang terjadi di Kerajaan Sindangkasih (Majalengka). Berdasarkan rentetan
peristiwa-peristiwa yang terjadi di kerajaan-kerajaan tetangganya tersebut,
maka diperkirakan pada periode yang bersamaan Kerajaan Panjalu juga menjadi
taklukan Cirebon dan menerima penyebaran Islam.
Kemaharajaan Sunda sendiri posisinya
semakin lama semakin terjepit oleh kekuasaan Cirebon-Demak di sebelah timur dan
Banten di sebelah barat. Pada tahun 1579 pasukan koalisi Banten-Cirebon
dipimpin oleh Sultan Banten Maulana Yusuf berhasil mengalahkan pertahanan
terakhir pasukan Sunda, kaprabon dan ibukota Kemaharajaan Sunda yaitu Pakwan
Pajajaran berhasil diduduki, benda-benda yang menjadi simbol Kemaharajaan Sunda
diboyong ke Banten termasuk batu singgasana penobatan Maharaja Sunda berukuran
200cm x 160cm x 20cm yang bernama Palangka Sriman Sriwacana (orang
Banten menyebutnya Watu Gilang atau batu berkilau) . Akibat peristiwa
ini, Prabu Ragamulya Surya Kancana (1567-1579) beserta seluruh anggota
keluarganya menyelamatkan diri dari kaprabon yang menandai berakhirnya
Kemaharajaan Sunda.
Menurut sumber sejarah Sumedang
Larang, ketika peristiwa itu terjadi empat orang kepercayaan Prabu Ragamulya
Surya Kancana yang dikenal dengan Kandaga Lante yang terdiri dari
Sanghyang Hawu (Jayaperkosa), Batara Adipati Wiradijaya (Nangganan), Sanghyang
Kondanghapa dan Batara Pancar Buana (Terong Peot) berhasil menyelamatkan
atribut pakaian kebesaran Maharaja Sunda yang terdiri dari mahkota emas simbol
kekuasaan Raja Pakwan, kalung bersusun dua dan tiga, serta perhiasan lainnya
seperti benten, siger, tampekan, dan kilat bahu. Atribut-atribut kebesaran
tersebut kemudian diserahkan kepada Raden Angkawijaya putera Ratu Inten Dewata
(1530-1579) yang kemudian naik tahta Sumedang
Larang dengan gelar Prabu Geusan Ulun (1579-1601).
Dewasa ini Nusa Larang dan Situ
Lengkong Panjalu menjadi obyek wisata alam dan wisata ziarah Islami utama di
Kabupaten Ciamis dan selalu ramai dikunjungi oleh para peziarah dari seluruh
Indonesia terutama dari Jawa Timur, apalagi
setelah Presiden IV RI K.H. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur diketahui beberapa kali berziarah di Nusa Larang dan
mengaku bahwa dirinya juga adalah keturunan Panjalu.
Situ Lengkong sekarang termasuk
kedalam wilayah Desa/Kecamatan Panjalu Kabupaten Ciamis Jawa Barat. Dalam
Bahasa Sunda; kata situ artinya danau. Situ Lengkong atau dikenal juga
dengan Situ Panjalu terletak di ketinggian 700 meter di bawah permukaan laut.
Di tengah danau tersebut terdapat sebuah pulau yang dinamai Nusa Larangan atau
Nusa Gede atau ada juga yang menyebutnya sebagai Nusa Panjalu. Menurut legenda
rakyat dan Babad Panjalu, Situ Lengkong adalah sebuah danau buatan, sebelumnya
daerah ini adalah kawasan legok (bhs. Sunda : lembah) yang mengelilingi
bukit bernama Pasir Jambu (Bhs. Sunda: pasir artinya bukit).
Menurut
sejarah, Situ Lengkong bukanlah situ alam yang terjadi dengan sendirinya,
melainkan hasil dari buatan para leluhur Panjalu. Pada awal abad ke 6 (Menurut
catatan Seksi Kebudayaan abad ke 16) raja yang memerintah kerajaan Hindu yang
bernama Panjalu ialah Prabu Sang Hyang Cakradewa. Beliau
menginginkan agar putra yang akan menggantikannya kelak haruslah memiliki ilmu
yang paling ampuh dan paling sempurna.
Setelah
mengetahui hal tersebut, maka berangkatlah sang putra Mahkota dengan waktu yang
cukup lama. Sampailah beliau di Tanah Suci Makkah dan di sanalah tujuannya
tercapai, yaitu mempelajari dan mendalami agama Islam dengan mengucap dua
kalimah syahadat.
Sang
Putra Mahkota pulang ke Panjalu dengan dibekali air zamzam, pakaian kesultanan
serta perlengkapan pedang dan cis dengan mengemban tugas harus menjadi raja
Islam sekaligus mengIslamkan rakyatnya.
Kerajaan
Panjalu pun berubah menjadi kerajaan Islam. Air zamzam yang dibawanya dari
Tanah Suci Makkah ditumpahkan pada sebuah lembah yang bernama Lembah Pasir Jambu, kemudian air yang
ada pada lembah itu bertambah banyak dan akhirnya menjadi sebuah danau yang
sekarang disebut dengan Situ Lengkong
Panjalu dan sekaligus merupakan benteng pertahanan keraton. Luas Situ Lengkong sendiri adalah
57,95 hektar dan Nusa Gede 9,25 hektar. Jadi, luas keseluruhan Situ Lengkong
adalah 67,2 hektar dengan kedalaman air sekitar 4 sampai dengan 6 meter.
Nusa
Gede merupakan pulau yang terletak di tengah Situ Lengkong Panjalu. Sekarang
ini, Nusa Gede menjadi hutan lindung di bawah pengawasan Konservasi Sumber Daya
Alam (KSDA) yang di dalamnya terdapat cagar budaya di bawah lindungan suaka
peninggalan sejarah dan purbakala yang berkedudukan di Serang, luasnya sekitar
0,5 hektar dimana di sana terdapat makam penyebar agama Islam yang disebut
dengan Mbah Panjalu. Di wilayah
ini tedapat 32 jenis pohon yang mencapai 307 buah pohon. Sedangkan hewan yang
terdapat di wilayah ini adalah kalong besar, burung hantu, serta tupai. [Sugeng
Sumaryadi/Eries M Rizal/N-3]
Daftar pohon-pohon di lokasi Nusa
Gede/Situ Lengkong Panjalu:
Nomor
|
Nama
Pohon
|
Jumlah
|
1
|
Ki Bima
|
1
|
2
|
Ki Sapu
|
5
|
3
|
Picung Celeng
|
3
|
4
|
Hamba Ruta
|
13
|
5
|
Ki Kadanea
|
37
|
6
|
Kalapa Ciung
|
42
|
7
|
Manglad
|
1
|
8
|
Manglid
|
26
|
9
|
Ki Sapi
|
4
|
10
|
Tenggak Caah
|
6
|
11
|
Ki Gugula
|
11
|
12
|
Ki Cempaka
|
27
|
13
|
Kopo
|
3
|
14
|
Ki Haji
|
2
|
15
|
Cempaka
|
1
|
16
|
Ki Putri
|
7
|
17
|
Aprika
|
2
|
18
|
Ki Bangban
|
4
|
19
|
Ansana
|
2
|
20
|
Teureup
|
19
|
21
|
Ki Terong
|
9
|
22
|
Huru Dapung
|
6
|
23
|
Huru Biasa
|
17
|
24
|
Hamperu Badak
|
3
|
25
|
Kanjere
|
4
|
26
|
Puspa
|
19
|
27
|
Ki Keuyeup
|
4
|
28
|
Caringin
|
4
|
29
|
Enow
|
6
|
30
|
Rambulan
|
1
|
31
|
Limus
|
1
|
32
|
Ki Banten
|
1
|
Jumlah
|
307
pohon
|
Adapun
pedang dan cis serta pakaian kesultanan yang dibawanya itu disimpan di Bumi Alit.
“Bumi
Alit” adalah suatu bangunan kecil tempat penyimpanan benda-benda yang dianggap
penting semasa masih berlangsungnya kerajaan Panjalu pada masa lalu. Bumi Alit
atau disebut juga dengan pasucian merupakan sebuah bangunan yang berfungsi
sebagai museum yang di dalamnya terdapat Benda-benda Cagar Budaya (BCB) yang
sengaja disimpan sebagai bukti. Benda-benda tersebut dirawat secara baik oleh
yayasan Borosngora (Borosngora = seorang
raja kerajaan Panjalu yang beragama Islam bernama Syekh Haji Dzul Iman).
Letak
Bumi Alit tidak jauh dari Situ Lengkong. Bumi Alit terletak dekat terminal Panjalu. Museum Bumi Alit yang
sekarang merupakan percampuran bentuk modern dengan bentuk mesjid pada zaman
dahulu yang beratap susun tiga. Untuk masuk ke Museum Bumi Alit ada tiga pintu.
Pada pintu masuk terdapat patung Ular bermahkota, dan di pintu gerbang/gapura
terdapat patung berkepala Gajah.
Pada
sekarang ini, tepatnya di sekitar Situ Lengkong Panjalu tidak pernah sepi oleh
pengunjung. Di antara
pengunjung-pengunjung yang datang ialah dari daerah Cirebon dan Tasikmalaya dan
lain sebagainya. Tujuan mereka pun bermacam-macam. Ada yang sekedar ingin mencari
suasana baru, dan ada pula yang bertujuan untuk berekreasi. Namun, kebanyakan
yang datang adalah untuk berziarah ke makam Mbah Panjalu yang terletak di Nusa
Gede, karena Situ Lengkong sendiri merupakan obyek wisata sekaligus tempat
ziarah.
Nyangku
merupakan upacara sakral dan merupakan sisa-sisa peninggalan sejarah, yaitu
sejarah dalam rangka perkembangan agama Islam di kerajaan Panjalu, juga
merupakan sisa-sisa peninggalan upacara Nyangku yang dahulu. Pada zaman dahulu,
upacara Nyangku ini dilakukan dengan tujuan agar penduduk Panjalu yang masih
memeluk agama Hindu tertarik untuk masuk agama Islam.
Istilah
Nyangku berasal dari bahasa Arab yaitu “Yanko”
yang artinya membersihkan. Karena sering salah dalam pengucapan, maka menjadi
“Nyangku”.
Yang
dimaksud dengan membersihkan di sini ialah membersihkan benda-benda pusaka
peninggalan para leluhur Panjalu agar awet dengan menggunakan tata cara
tersendiri sebagai adat.
Benda-benda yang dibersihkan pada
upacara sakral Nyangku, di antaranya:
v Pedang
sebagai senjata pembela diri dalam rangka menyebarkan agama Islam;
v Cis
sebagai senjata pembela dalam rangka menyebarkan agama Islam;
v Kujang
bekas membelah belanga yang menutupi kepala Bombang Kancana;
v Keris
Komando senjata bekas para raja Panjalu sebagai tongkat komando;
v Keris
pegangan para Bupati Panjalu;
v Pancaworo
senjata perang;
v Bangreng
merupakan senjata perang;
v Gong
kecil alat untuk mengumpulkan rakyat pada masa dahulu;
v Semua
benda pusaka yang ada di keluarga Yayasan Borosngora dan benda pusaka yang ada
di masyarakat Panjalu.
Adapun
makna umum dari upacara Nyangku adalah untuk membersihkan diri dari segala
sesuatu yang dilarang oleh agama, juga bertujuan untuk memperingati Maulid nabi
Muhammad SAW. sekaligus mempererat hubungan persaudaraan keturunan Panjalu.
Karena upacara Nyangku sendiri rutin dilaksanakan satu tahun sekali, tepatnya
pada hari Senin atau Kamis di akhir bulan Maulid. Adapun penyelenggaraannya
dilaksanakan oleh para sesepuh Panjalu,
unsur pemerintah desa, LDKMD, tokoh masyarakat, dan para kuncen. Yayasan
Borosngora dan desa bertugas sebagai koordinator jalannya upacara Nyangku.
Semuanya mengenakan pakaian adat.
Kesenian
yang ditampilkan dalam upacara Nyangku di antaranya kesenian Gemyung (untuk
mengiringi jalannya upacara), Wayang Landung (sebagai hiburan setelah upacara
selesai).
Menjelang
upacara Nyangku, Situ Lengkong dipenuhi oleh berbagai kalangan. Pasar Seni pun ramai dikunjungi. Di
pasar Seni, dijual berbagai macam oleh-oleh. Misalnya saja pakaian dengan
gambar Situ Lengkong, tas/sandal yang terbuat dari rotan, terasi, manisan dari
kulit jeruk bali, comring, jawadah, dan lain-lain. Namun, yang paling terkenal
dan menjadi khas asli daerah Panjalu adalah jawadah.
Jawadah
adalah makanan khas Panjalu yang terkenal dan sudah beredar hingga ke luar
kabupaten Ciamis. Jawadah merupakan makanan sejenis wajit. Kelebihan dari
jawadah yaitu lebih awet (tahan lama), dapat disimpan dalam waktu yang lama.
PENUTUP
Masyarakat atau buyut-buyut Panjalu
harus bangga dan bersyukur lebih bahkan harus bisa mentafakuri warisan-warisan
yang diberikan para Raja terdahulu, mulai dari ilmu, papagon, akhlak-akhlak
yang mulia serta peninggalan lainnya. Itu semua adalah bukti perjuangan dan
semangat para karuhun sebagai para pendiri kerajaan dan yang membuka
perkampungan di wilayah Panjalu. Yang paling penting adalah warisan perjuangan
keislaman, atau ketauhidan, kebijaksanaan, dan akhlak yang mulia.
Sadar ataupun tidak sadar dengan
adanya patilasan tersebut, dari dulu, sekarang dan yang akan datang masyarakat
Panjalu merasakan manfaatnya baik besar ataupun kecil. Dari berbagai daerah
silih berganti mengunjungi Panjalu. Dengan banyaknya pengunjung masyarakat
Pajalu bisa membuka lapangan kerja baru, baik jasa ataupun materi/dagangan.
Karuhun Panjalu tidak mewariskan
sifat kekerasan, kesombongan dan bangga akan daerah atau golongannya. Islam
adalah saudara, Karuhun Panjalu tidak hidup di Panjalu saja, melainkan pernah
hidup di daerah-daerah Ciamis lainnya, bahkan sampai ke Garut, Sumedang,
Bandung, Sukabumi, Jampang, Banten dan lain-lainnya. Namanya pun banyak sekali
sesuai dengan daerah ia tinggal. Jadi jangan sampai adanya permusuhan atau ujub
ria takabur merasa paling benar atau jago karena ia adalah keturunan Raja
Panjalu. Semuanya adalah saudara, buyut-buyut Raja-raja Pasundan, jadi tidak
boleh orang Panjalu bermusuhan dengan orang Sumedang atau orang Bandung karena
masih satu keturunan.
Mereka sayang kepada keturunan
setelah mereka, sekarang termasuk kepada buyut-buyutnya dan yang akan datang.
Terbukti Situ Panjalu, Bumi Alit, dan patilasan-patilasan yang tersebar di
Kecamatan Panjalu menjadi berkah dan menambah penghasilan bagi masyarakat
sekitar. Dari penghasilan Wisata ziarah, ratusan juta rupiah terkumpul tiap
tahunnya.
Berbicara soal pembangunan yang
menjadi perhatian utama, bukan hanya pembangunan fisik tetapi non fisik pun
harus dibangun sehingga terjadi keseimbangan. Yang namanya tidak seimbang tentu
tidak bagus dan akan pincang.
DAFTAR PUSTAKA
- Argadipraja, R. Duke. (1992). Babad
Panjalu Galur Raja-raja Tatar Sunda. Bandung: Mekar Rahayu.
- Atlas Indonesia & Dunia Edisi 33 Propinsi di
Indonesia. (2000). Jakarta. Pustaka Sandro.
- Ayatrohaedi. (2005). Sundakala:
Cuplikan Sejarah Sunda Berdasarkan Naskah-naskah "Panitia Wangsakerta"
dari Cirebon. Jakarta: Pustaka Jaya.
- Ekadjati, Edi S. (1977). Wawacan Sajarah Galuh. Bandung:
EFEO.
- Hidayat, Yayat. Mengenal
Warisan Kerajaan Panjalu. Artikel Majalah Misteri Edisi 20 Peb - 04
Mar 2010.
- http://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Panjalu_Ciamis
- http://ciamiskab.bps.go.id/index.php/tentang-perstatistikan/78-news1776678893/latest-news1286940385/121-kecamatan-panjalu-2011
- Suganda, Her. Situ Lengkong dan
Nusalarang, Wisata Alami yang Islami. Artikel Harian Kompas, 21 Juni
2003.
- Suganda, Her. Naskah Sunda Kuno Antara
Sejarah dan Nilai Sakral. Artikel Harian Kompas, 24 Mei 2008.
- Sukardja, H.Djadja. (1997).
Maung Panjalu dan Nyangku. Ciamis: H. Djadja Sukardja S.
- Sukardja, H.Djadja.
(2001). Sejarah Kisah Panjalu dalam Enam Versi. Ciamis: H. Djadja Sukardja
S.
- Sutarwan, Aam Permana. Gus
Dur "Merevisi" Sejarah Situ Lengkong Panjalu, Air Situ Lengkong
berasal dari Mekah. Artikel Harian Pikiran Rakyat, 10 Juli 2000.
- Sumaryadi, Sugeng/Eriez M Rizal. Menengok
Rahasia Sukses Warga Panjalu. Artikel Harian Media Indonesia, 13 Maret
2004.
- Tim Peneliti Sejarah Galuh
(1972). Galuh Ciamis dan Tinjauan Sejarah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar